Dia tampak sempurna dengan penampilan sederhana, pakaian yang bahkan terlihat lusuh namun entah mengapa begitu pas melekat ditubuh atletis miliknya. Aku sudah melihat pemandangan ini selama bertahun-tahun, dan tidak pernah merasa bosan. Aku pikir jangka perasaan yang kumiliki untuk nya akan berakhir setelah beberapa waktu, tapi ternyata aku nyaman berada di tempat ini.
Sudah tiga tahun aku memperhatikan nya dari kejauhan, memandangi setiap pergerakan nya dalam keheningan. Dia selalu tertawa lepas ketika bermain atau mengobrol bersama teman-teman nya, wajah nya selalu ceria, dan yang paling ku sukai ketika ia bermain gitar. Seolah kesempurnaan nya dimata ku bertambah berkali lipat, aku terpana dalam kesemuan perasaan terhadap dia yang tak pernah bisa ku sentuh.
Aku tidak pernah menyebut nama nya dalam doa, bahkan sekedar mengenang dirinya ketika berada ditempat selain disini aku tak berani. Sebisa mungkin aku mengubur keinginan itu, aku hanya cukup mencintainya ketika ia berada didepan ku. Walau mustahil mengendalikan pikiran dan perasaan ku sendiri, aku tetap mewaspadai segala kemungkinan sakit hati dimasa mendatang.
Aku juga tidak tahu apakah ini keberuntungan, atau justru hal yang harus aku persiapkan jika suatu saat aku melihat dia bersama yang lain.Aku terus menatapnya dari kejauhan, tidak peduli orang lain berpikir kalau diriku aneh. Hanya ini obat penenangku dari segala kelelahan yang mendera, sepulang dari sini aku harus melalui hari yang keras lagi seperti sebelumnya. Tidak akan ada cerita indah untuk si upik abu dalam dunia nyata, hanya dunia fiksi yang mengabulka setiap permintaan.
Aku sudah cukup menjalani kehidupan yang melelahkan, mencintai seorang laki-laki yang bahkan tak mengetahui keberadaanku, menjadi satu-satu nya orang waras ditengah keluarga yang berantakan, aku sudah bertahan sejauh ini. Hidup seakan tak berpihak kepadaku, tapi aku meyakinkan diri kalau tidak buruk juga bila mencoba mencintai orang lain selain diri sendiri. Resiko dari pilihanku adalah menanggung rasa sakit saat mendengar desas-desus kedekatan nya bersama orang lain, walau tak ada yang terbukti secara nyata namun aku sudah menahan gejolak perih itu selama dua tahun terakhir.
Tahun pertama aku menyukainya, semua berjalan baik-baik saja.
Lalu di tahun kedua, semua terlewati begitu saja dengan berbagai gosip yang ku dengar, sayang nya hal itu tak dapat menghentikan perasaan ku.Dan tahun ketiga, aku melihat dia bersama gadis lain yang ku tahu bahwa dia primadona kampus. Lagi-lagi aku merasa tak ada yang special dari tingkah mereka, sehingga hatiku tetap mencintainya.
Cintaku hanya sebatas mengagumi dari kejauhan, dia tak pernah tahu aku hidup dan berada disekitarnya, aku memang membaurkan diri tak ingin menonjol. Prestasiku yang biasa saja, dan wajah yang memang tak memiliki garis kesempurnaan, aku sadar diri.
Aku benar-benar menyukai setiap senyuman yang tergaris diwajah tampan itu, orang akan berpikir aku gila karena tertawa sendirian. Tapi satu-satu nya yang membuatku tetap hidup adalah mencintainya, obat tidak selalu berbentuk pil atau kapsul, bisa jadi mencintai salah satu lelaki tertampan dikampus adalah obat nya.
Setelah sekian lama, aku mengakhiri sesi terapi alamiku. Aku hanya berharap agar besok bisa melihatnya lagi, disini dengan hati yang penuh cinta, tak peduli seberapa keras aku berjuang diluar sana, yang paling penting aku bisa menatapnya.
***
Seseorang selalu bertingkah aneh ketika sedang jatuh cinta, mereka terlihat sangat gembira bahkan hanya dengan sekali pandang, wajah sumringah tak dapat di sembunyikan.
Ardianti, biasa di sapa Dian itu melangkah pergi meninggalkan taman kampus. Dia berjalan sembari bersenandung kecil, bernyanyi dengan sesuka hati tanpa memperdulikan apakah lirik yang dia nyanyikan benar, semua terasa mudah dilakukan.
Hari-hari yang dilalui mungkin berat, tapi dengan melihat wajah orang yang dicintai semua terasa ringan dan mudah.Beberapa hal tidak akan kita pahami sampai merasakan sendiri, Dian mungkin tampak biasa saja ketika berada ditengah keramaian namun dibalik itu ada luka yang dia sembunyikan. Ini bukan soal patah hati saja, namun juga luka-luka yang tercipta dari orang terdekat sehingga memunculkan perilaku yang menjauhkan diri dari orang banyak, lebih suka menyendiri seakan tak ada yang bisa dipercaya. Dian hanya berusaha melindungi diri sendiri, kehilangan kepercayaan dan keyakinan, rasa kecewa yang datang bertubi-tubi, kegagalan yang selalu jadi bom meledak menghancurkan isi dalamnya, keberhasilan yang dijadikan perbandingan, semua terasa sia-sia dan tak bermakna.
Hati manusia memang lah kuat, namun membentuk agar hati itu menjadi kuat harus menggunakan hantaman yang keras tiada henti. Dian berharap dia tetap kuat sampai benturan itu berhasil menjadikan dirinya lebih kuat, setidaknya dia merasa hidup ini adil tanpa harus menyalahkan siapa-siapa.
Setelah kepergian gadis berambut pendek sebahu itu, laki-laki berpenampilan sederhana itu memandangi nya dari jauh. Tatapan yang cukup mengesankan seolah tersirat sesuatu teramat dalam, meski tak menggambarkan apa yang dia rasakan, sepasang mata cokelat itu memancarkan kesenduan yang pekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day I Left
General FictionCerita ini hanya karangan tak pasti, tiada akhir yang bahagia untuk kisah yang tragis.