Aku melambaikan tangan kearah tiga orang yang sedang memandang haru kearahku, mereka adalah hartaku yang paling berharga. Keluarga
Mereka berlari menghampiriku, aku bahagia sekali akhirnya bisa kembali kerumah. Kampung halamanku, negeriku tercinta. Hidup dirantauan untuk waktu yang lama tak membuatku melupakan bagaimana sejuknya udara dirumah sendiri, mereka menangis bahagia. Aku pun tak bisa menutupi kebahagiaan ini, ayah selalu gengsi menunjukkan cintanya padahal aku sudah tahu ia juga senang atas kepulangan ini.
"Oleh-oleh adek ada kan mas?"
Sudah ku bilang, aku sangat mencintai perempuan ini. Aku tidak akan melupakan apa saja permintaan nya, tapi pertanyaan itu ia lontarkan ketika kami masih berada di bandara. Beri aku waktu istirahat dulu ya cantik, mas mu ini lelah sekali berada di pesawat selama enambelas jam.
Tanpa perlu menjawabnya, ibuku sudah lebih dulu mengomel. Ah ya, aku benar-benar merindukan suasana ini. Seperti dejavu, selama diluar negeri mereka selalu mengunjungi ku tapi rasanya berbeda ketika berada dirumah kita. Aku sangat sangat merindukan teman-temanku, terutama gitar ku yang pasti sudah berdebu.
Kami berempat berjalan menuju area parkir, mobil baru ayahku sudah berada disana. Ini mobil baru ketiga milik ayah, dia tidak suka membuang uang untuk barang mewah kecuali sudah tidak bisa dipakai.
Dua mobil lainnya sudah dijual karena sudah banyak kerusakan, bukan tak mau memperbaiki hanya saja sudah berulang kali. Kami memang memiliki lebih untuk urusan ekonomi, tapi menghamburkan uang bukanlah gaya hidup yang harus kami jalani. Ibuku adalah seorang penghemat, ayahku juga memang tidak suka memfasilitasi anak lebih dari sekedarnya.
Hanya untuk pendidikan mereka berani memberikan lebih, lain dari itu, kami berdua diajarkan untuk menahan keinginan. Didikan baik ini akan aku teruskan kepada anak-anakku kelak, agar mereka tahu cara menghargai sesuatu, baik itu barang, orang dan sebagainya.
Perjalanan pulang kami terasa sangat menyenangkan, adikku tak berhenti mengoceh. Seakan umurnya masih belasan tahun padahal sudah duapuluh tahun lebih, ayah yang fokus menyetir sesekali menimpali ucapan adikku, ibu yang duduk disebelahku justru hanya tersenyum mendengar suami dan anaknya bercengkrama.
Keluarga seperti ini adalah hal yang paling diinginkan sebagian orang, tak akan ku biarkan anak cucuku nanti merasakan kesendirian.Mereka harus merasakan apa yang kurasakan, agar tidak ada kisah sedih dalam keluarga ku nanti.
Sejak tadi aku memikirkan soal berkeluarga, yang menjadi sasaran ingatan nya ya cuma gadis itu. Pasti akan menjadi sempurna bila mimpiku satu ini menjadi kenyataan juga, entah bagaimana nanti aku akan menemukan nya yang jelas malam ini aku ingin tidur dulu.
Aku harus mengumpulkan tenaga supaya bisa mencarinya, tidak peduli seberapa jauh dia dariku, akan ku temukan dimana pun. Aku sangat menginginkan nya, merindukan tatapan matanya yang sendu, juga senyum yang begitu mahal untuk dinikmati.
Ardianti, aku harap belum terlambat untuk menemui mu.
Aku hanya bisa berdoa agar dimana pun dirimu berada, kamu tetap sehat, makan dengan baik dan menikmati hidup sebagaimana mestinya.
Aku sudah lama mengamatimu, dan luka mu benar-benar sangat dalam sehingga sulit untukku sembuhkan.Aku selalu meminta kepada Tuhan agar dirimu mendapatkan kebahagiaan, dan tentu saja bersamaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day I Left
General FictionCerita ini hanya karangan tak pasti, tiada akhir yang bahagia untuk kisah yang tragis.