Terkadang cinta itu sangat membosankan untuk dijalani, apalagi bila tak berhasil diwujudkan dalam suatu hubungan. Tapi mengapa sampai saat ini Aldo masih tak merasakan bosan dari terkadang itu sendiri, malam ini dia semakin larut dalam perasaan rindu bercampur gelisah. Bagaimana akhir perasaan nya untuk Dian, dan mengapa detik ini ia ingin sekali melihat wajah gadis itu untuk terakhir kali sebelum memutuskan kembali ke titik awal dimana dia tak pernah mengenal perempuan bermata kelabu tersebut.
Aldo mengirimkan pesan singkat kepada seseorang, bertanya tentang keadaan Dian kepadanya kemudian menunggu begitu lama hanya untuk sebuah balasan. Pria itu menanti hingga subuh namun tak kunjung direspon, hal aneh yang terjadi selanjutnya adalah ketika Aldo menelpon Eri justru nomor wanita itu dialihkan. Bukan sesuatu yang bisa dijelaskan dengan kata-kata tapi Aldo merasa ada yang salah, ada hal yang telah dia lewatkan semalaman ini. Meskipun tak mengetahui kejadian sebenarnya, Aldo berpikir lagi apakah dia harus pergi kerumah sakit untuk membetulkan prasangka nya. Lelaki itu tak bergerak cepat, namun pasti ia telah mengambil langkah sendiri menuju tempat dimana Dian berada.
Butuh waktu untuk tiba dirumah sakit, suasana sunyi menjadi pemandangan bagi mata Aldo. Pagi yang belum menunjukkan mentari membuat hati Aldo semakin tak karuan, ia bergegas turun dari mobil dan berjalan menuju ruangan yang biasa ia datangi. Namun belum sempat membuka pagar pembatas area luar dan dalam, Aldo sudah dicegat oleh petugas keamanan disana.
"Maaf mas, anda dilarang memasuki area ini lagi. Dokter Eri sudah memerintahkan kami untuk tidak mengizinkan mas Aldo masuk."
Petugas itu sangat jujur sekali, kejujuran nya menyentak Aldo yang kini menatap tajam kearahnya. Dengan pandangan tak suka juga kesal, Aldo mencoba bertanya meski hatinya mendadak diliputi emosi.
"Kenapa tiba-tiba? Bukankah saya sudah dapat akses khusus untuk bisa masuk kedalam kapan pun saya mau."
"Maafkan kami mas Aldo, tapi ini perintah langsung dari Dokter Eri. Beliau berpesan agar mas Aldo tidak boleh lagi menemui mbak Dian, kami tidak bisa menjelaskan detailnya karena ini hanya perintah mas."
Aldo mundur lagi beberapa langkah, mengusap wajah yang kusut karena tak tidur semalaman juga mengacak rambutnya, yang justru membuat lelaki itu semakin menggiurkan. Dia selalu tampan dalam keadaan apapun.
Aldo mengeluarkan ponselnya, menelpon Eri untuk sekian kali namun lagi-lagi suara operator yang terdengar.Dia tidak menyangka akan diperlakukan seperti ini oleh Eri, padahal di awal diskusi mereka sudah sepakat untuk saling membantu. Tapi apa ini?
Aldo menekan nomor Roni untuk dihubungi selanjutnya, menunggu pria itu menjawab dengan hati yang semakin risau.
"Dimana?"
Suara berisik menghampiri pendengaran Aldo, bahkan ia bisa mendengar deru nafas Roni yang seperti habis berlari.
"Dirumah sakit, ada pasien gawat darurat. Ada apa?"
Mendengar hal itu Aldo mengurungkan niatnya untuk bertanya soal Eri, apalagi saat ini Roni kedengaran nya sangat sibuk mengurus pasien. Aldo kembali menemui jalan buntu, pikiran nya mulai mengeruh seperti tadi.
"Gak apa-apa, gue mau nanya soal Eri tapi ntar aja saat lo gak sibuk."
Roni tidak dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh Aldo, karena seseorang terus menangis dihadapan nya sambil mengeluarkan apa yang selama ini ia pendam. Tanpa sadar Roni pun mengabaikan panggilan yang sedang berlangsung, Aldo mematikan telpon nya dan pergi dari sana.
Sedangkan Roni, ia merangkul bahu adiknya yang tak berhenti menangis. Mereka hanya dua bersaudara, Eri tidak pernah bicara sebanyak ini selama mereka menjadi keluarga. Ini pertama kali Roni melihat adiknya putus asa, dan alasan mengapa dulu Eri sempat ingin berhenti menjadi dokter. Sekarang sudah jelas didepan mata, setiap orang punya luka mereka masing-masing.
Ada yang telah berlatih untuk sembuh dengan meyakinkan diri, ada juga yang memilih menyimpan trauma itu sendiri sampai batas waktu yang tak ditentukan. Eri telah berhasil menyembunyikan lukanya, sampai hari ini dia meluapkan segala hal yang pernah dia lewati.
Menyaksikan orang yang kita sayang mati secara tragis didepan mata adalah kenangan terburuk sepanjang hidup. Eri mungkin bukan dokter terbaik, tapi ia berusaha semaksimal mungkin menyelamatkan pasien nya yang memiliki masalah mental.
Dan semoga saja, Dian masih diberi kesempatan untuk hidup. Sama seperti keinginan Eri yang ingin lepas dari bayang-bayang rasa bersalah yang tak seharusnya menjadi trauma bagi perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day I Left
General FictionCerita ini hanya karangan tak pasti, tiada akhir yang bahagia untuk kisah yang tragis.