Dulu sekali, banyak teman-teman sekolah atau bermainku yang bilang sangat iri dengan keluargaku. Bukan karena kami memiliki segalanya, tapi iri dengan kebersamaan antara sesama anggota keluarga.
Ayah dan ibu, aku dan adikku.
Kami berempat tidak memiliki jarak dalam menjalin hubungan sebagai keluarga, terlebih adikku yang memang aktif sejak kecil. Dia bisa menceritakan hal kecil menjadi suatu dongeng yang menyenangkan. Ekspresi yang bisa berubah-ubah sesuai apa yang ia ceritakan, aku senang mengamati nya.
Seperti saat ini, kami duduk bersama di meja makan. Sebagian orang mungkin tidak suka bicara pada saat makan, tapi ayahku membebaskan kami untuk meluapkan perasaan ketika makan. Atau ketika sedang minum teh, biasanya kami selalu menceritakan masalah masing-masing.
Aku tidak pernah menemui kesulitan yang menguras pikiran, selalunya aku menceritakan tugas atau teman-teman yang bertingkah lucu, selebihnya hanya hal biasa.Teruntuk masalah hati dan perasaanku, aku lebih suka memendamnya sendiri. Aku bukan tidak ingin menceritakan soal perasaanku kepada ayah atau ibu, apalagi adikku, aku hanya mau menikmati dia sendirian untuk diriku sendiri.
Kami memang tak pernah bicara, tapi aku selalu menciptakan dialog sendiri didalam kepalaku sebagai persiapan seandainya nanti bertemu lagi.
Mengapa aku bisa jatuh cinta pada seorang gadis dingin seperti dia, padahal ada banyak perempuan diluar sana yang menyenangkan hati.Entahlah, sampai sekarang hal itu selalu menjadi pertanyaan dalam pikiranku. Meskipun begitu, aku sama sekali tak merasa terbebani. Cintaku ini sungguh menyenangkan, aku tak memikirkan bagaimana akhir kisah kami, yang aku pikirkan hanyalah bagaimana aku akan berhadapan dengan dia setelah sekian lama menghilang.
Apakah dia masih mengingatku, atau dia bahkan sama sekali tak pernah tahu keberadaanku.
"Mas, kok makanan nya cuma di aduk?"
Ya, aku hampir lupa kalau kami sedang sarapan bersama. Pikiranku sudah jauh berkelana, aku menatap wajah ibuku yang tersenyum. Dia sangat cantik di usianya yang tidak muda lagi, aku ingin sekali mengenalkan pujaan hatiku padanya suatu saat nanti.
"Lagi kepikiran kerjaan mah, kebiasaan kalo pagi langsung kerja bukan nya sarapan."
Jawaban itu tidak sepenuhnya bohong, biasanya aku memang langsung berangkat kerja setelah mandi dan merapikan diri, tidak sempat sarapan dan selalu memesan makanan di sore hari. Aku tidak punya waktu untuk bersantai, aku punya banyak rencana dan harus segera direalisasikan.
"Sekarang kan dirumah, dimakan dulu buburnya. Kebiasaan kamu jauh dari rumah, jangan dibawa kesini mas."
Aku tersenyum membalas perkataan ibu, dia adalah surga yang akan selalu ku jaga. Adik dan ayahku sudah menyelesaikan makanan mereka, hanya kami berdua yang tersisa. Aku membantu ibu membereskan piring kotor, aku melihat ayah didapur sedang membereskan peralatan memasak.
Bukankah sudah ku ceritakan kalau ibu tak pernah menyentuh dapur selama menikah dengan ayahku, ya itu memang benar.
Tugas ibuku hanya menemani ayah mengobrol, obrolan mereka tidak pernah habis. Dan anehnya, ibu ku selalu tertawa keras saat ayah mulai mengeluarkan rayuan gombalnya.
Tidak peduli seberapa lama ayah membereskan dapur, selama itu juga ibu akan setia berada disamping nya. Mereka adalah sepaket yang tak terpisahkan.Aku hanya menggelengkan kepala, bayangan-bayangan dikepalaku mulai lagi bermunculan. Seharusnya aku sudah menikah memang, tapi apalah daya, diriku tak mau orang lain.
Aku kembali ke kamar, membersihkan diri lalu berpamitan kepada orangtuaku untuk keluar jalan-jalan.
Sudah lama aku tidak menghirup udara bebas disini, berkendara sendirian ditemani lagu favoritku.Wanna be yours. .
Sejak dulu, sepotong kalimat itu selalu menggangguku.
Entah kapan aku akan menjadi miliknya, seberapa lama lagi aku akan menunggu untuk hati yang tidak pasti, dan bodohnya aku benar-benar buta oleh cinta ini.
Aku berkeliling tak tentu arah, mataku menatap kesana kemari berharap suatu kebetulan yang tidak mungkin. Aku ingin bernostalgia dengan terus membawa dirinya dalam pikiranku, tidak sedetik pun kubiarkan pikiran ini kosong.
Aku melihat tenda yang dulu selalu ku singgahi ketika pulang kuliah, dia pernah bekerja disana. Setiap hari aku menatapnya namun dia tak sekali pun menyadari kehadiran ku, aku juga tidak pernah membiarkan dia pulang sendirian. Diam-diam aku selalu mengikuti nya, jarak antara rumah-kampus dan tempat kerjanya sangat jauh tapi ia sama sekali tak menunjukkan gurat kelelahan.
Dia manusia atau jelmaan malaikat, kenapa dirinya begitu kuat menghadapi situasi yang sulit.
Ahh, aku benar-benar merindukan nya.
Memutar dari jalan yang telah kulewati, aku memilih untuk mengunjungi rumahnya.
Aku tahu ini terlalu mudah, tapi tidak salah untuk mencoba.
Dan jika keberuntungan itu masih milikku, maka dia akan berada dirumah sekarang.Aku harap dia tidak sedang menggendong bayi saat aku tiba disana.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day I Left
General FictionCerita ini hanya karangan tak pasti, tiada akhir yang bahagia untuk kisah yang tragis.