33

23 5 2
                                    

Roni berpamitan satu jam yang lalu, sekarang hanya ada mereka berdua disini. Aldo memberikan bunga yang tadi dia beli kepada Dian, tersenyum ceria ketika tangan perempuan itu menerimanya. Dian menerimanya bukan karena dia suka bunga, tapi menghargai usaha Aldo yang sudah terlalu banyak menghiburnya. Setelah dipikir berulang kali tentang kata-kata Roni, Dian sadar kalau perasaan nya terbalaskan oleh Aldo. Hanya saja keadaan sudah jauh berbeda, andai mereka bertemu sebelum insiden berdarah itu maka Dian akan merasa beruntung telah dicintai oleh pria yang masih menghuni hatinya itu.
Sekarang Dian tak memiliki masa depan, harapan atau cita-cita lagi. Hidupnya benar-benar kosong, dan kedatangan Aldo yang membawa sejuta mimpi seakan memaksa Dian untuk masuk kedalam sana.

"Aku pikir kamu akan pergi setelah semalam aku menolakmu." Dian mencoba memulai percakapan, canggung tentu saja tapi ia tak ingin suasana sunyi membawa ingatan buruk.

Aldo menoleh kesamping sembari berdecak gemas.

"Hanya satu penolakan tidak akan membuatku pergi, aku sudah melangkah sedekat ini padamu. Menyerah tidak ada dalam kamus hidupku, kenapa? Kesal ya, karena aku masih datang?"

"Aku tidak kesal, hanya aku merasa kamu laki-laki terbodoh yang mau bersamaku bahkan setelah mengetahui apa yang terjadi."

"Aku memang bodoh, seharusnya kamu sudah tahu dari awal."

Aldo menopang kepalanya dengan sebelah tangan, semakin intens menatap wajah pucat Dian. Akhirnya mereka bisa bicara dalam keadaan normal, dan rasanya sangat menyenangkan bagi Aldo yang sudah lama menanti momen ini. Beginilah rasanya bila cintamu mulai menunjukkan tanda-tanda akan berakhir bahagia.

"Apapun yang terjadi padamu, itu bukan kehendakmu. Lagi pula semua sudah berlalu, kamu tidak ingin memulai hari baru yang lebih menyenangkan? Aku sama sekali tak keberatan menemanimu untuk menikmati semua keindahan dunia ini."

Darahnya berdesir ketika mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Aldo, laki-laki ini belum apa-apa sudah berhasil membuat Dian panas dingin. Bahkan disaat kondisinya belum pulih seratus persen, kinerja jantungnya diuji oleh tatapan lelaki itu.

"Aku tidak mau ditemani oleh orang sepertimu, bodoh!"

"Memang nya aku orang seperti apa?"

Mereka benar-benar terjebak dalam pembicaraan yang membuat Dian menelan ludah susah payah, Aldo adalah kesempurnaan dimatanya. Memang nya seperti apalagi ia harus menggambarkan sosok pria itu.

"Sudah ku bilang kamu bodoh, kamu tuli?"

Aldo tertawa gemas melihat wajah cemberut Dian, rona merah menghiasi pipi gadis itu membuat Aldo ingin sekali mengusapnya. Tanpa pikir panjang ia mengulurkan tangan dan menyentuh kulit wajah Dian, mengelusnya berulang kali. Dian terdiam menikmati sentuhan Aldo, mereka berdua sama-sama menikmati kesunyian yang membawa sejuta kerinduan dalam hati.

Perasaan dejavu saat masih kuliah yang diam-diam saling memandangi dari jauh, tak sengaja saling bertatapan, semua terbayar lunas hanya dengan beberapa menit saja.

"Kamu cantik kalau lagi kesal, aku tidak tahu kalau gadis yang kucintai bisa semenggemaskan ini ketika marah."

Lelehan salju yang bertumpuk sebagai pembatas tak kasat mata diantara mereka mulai mencair, dan Aldo telah berhasil melumpuhkan seluruh kedinginan hati Dian.
Dia berhasil mengetuk pintu dunia Dian, masuk kedalam sana dan mencari pintu lain untuk menculiknya keluar.

"Kata-kata mu terdengar menggelikan, aku tidak bohong."

Aldo kembali tertawa dan mengacak rambut Dian semakin gemas dengan ekspresi wanita itu.

"Aku sudah lama menunggu momen ini, jadi kamu harus bersiap-siap untuk menerima kegilaanku yang lain."

The Day I LeftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang