9

20 5 0
                                    

Ada banyak hal yang tidak akan pernah dimengerti oleh orang-orang yang bahagia, yaitu kesedihan orang yang menderita sejak lama.

Mereka yang telah merana sejak lama akan merasa kesepian, merasa gagal, merasa tidak berguna, merasa bahwa hidup didunia ini adalah sebuah ketidak adilan yang terlalu lama untuk dijalani. Rasa sakit yang secara terus menerus dirasakan membuat orang yang menderita akan berpikir untuk segera mengakhiri kehidupan dengan cara yang paling menyedihkan.

Mereka tidak mau mati dengan sia-sia, mereka ingin hidup yang lebih lama dengan versi terbaru, harapan baru, mimpi dan cita-cita yang baru, orang-orang seperti itu hanya mau memiliki impian seperti mereka yang telah dilimpahi kebahagiaan.
Bukan karena tidak mempercayai takdir, tapi kesulitan yang sering kali menyelimuti kesadaran membuat mereka tak bisa berpikir baik.

Dian telah menjalani kehidupan selama duapuluh tujuh tahun, dan tidak sekali pun dalam hidupnya merasa dihargai, disayangi, dilindungi atau bahkan di apresiasi atas pencapaian yang telah ia raih.

Hari kelam itu seakan semakin dekat untuk merampas puluhan tahun yang Dian coba bangun dengan susah payah, hari dimana dia telah menyerah terhadap keadaan, dimana impian nya telah ia hancurkan sendiri dengan angan-angan yang tak pasti.

Malam itu, Dian duduk termenung sendirian didalam kereta yang akan membawanya pulang. Dokter Anna benar, dia tidak akan bisa menciptakan hidup yang baru bila masa lalu terus dihindari. Dian harus berani melawan nya, walau tidak mungkin dengan cara membunuh. Ia sendirian digerbong ini, Dian sengaja memilih dini hari sebagai waktu yang tepat untuk perjalanan pulang. Pulang ke tempat yang disebut rumah, bukan untuk bersenang-senang tapi demi melihat wajah yang telah lama ia rindukan.

Dian telah melewatkan banyak hari sendirian, dia telah melalui banyak hari pedih, kali ini mungkin cukup berbeda dari yang sebelumnya. Perjalanan terasa sangat sebentar, karena ketika kereta berhenti Dian telah sampai di stasiun daerah rumah nya.

Tidak ada harapan untuk dijemput oleh keluarga, atau siapapun, Dian hanya membutuhkan kendaraan agar cepat tiba disana.
Langkah yang semakin memberat, bahu yang bahkan tak sanggup menopang beban, pandangan mata yang kosong menunjukkan betapa putus asa itu telah berhasil menguasai dirinya.

Dian berjalan gontai menyusuri lorong-lorong stasiun, tubuhnya seolah terbang dibawa angin tanpa harus berpijak ke tanah.

Angin-angin yang menusuk kulit tak mengurangi keinginan Dian untuk pulang, meski menolak pun ia tetap harus pulang.

Orang yang melihat akan bertanya, hantu jenis apakah gadis itu. Seberapa besar penderitaan nya semasa hidup sehingga berjalan tak tahu arah menengah ke jalanan tanpa peduli orang-orang mencoba memperingatinya agar berhati-hati.

Dia bukan hantu, tubuh itu adalah jasad tanpa nyawa dan kehidupan.

Hidup yang dia inginkan telah direnggut sejak lama, bahkan ketika itu ia tak bisa mengambil kembali apa yang telah dicuri.

Dian sampai dihalaman sebuah rumah, tampak beberapa orang masih duduk diluar dengan asap rokok yang bertebaran ke udara.
Pandangan nya tertuju ke pintu masuk rumah, disana Dian sudah melihat sosok tubuh yang terbaring kaku terselimuti kain.

Dunia ini tidak kejam, takdir tidak jahat, mereka hanya menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Dian melangkah maju memasuki halaman dalam rumah, tidak bersuara apalagi mengucapkan salam untuk menyapa orang-orang. Perempuan menyedihkan itu terus melangkah ke satu arah, ingin cepat sampai namun semakin dia mendekat maka tubuh itu semakin menjauh tak mau digapai. Dian berdiri diambang pintu dengan penampilan yang sangat kacau, berantakan, tidak bisa dikatakan layak.

Wajah pucatnya, mata yang sembab dan lingkaran hitam yang mengerikan. Bibirnya mengering pecah-pecah, hidung nya memerah dan nafas yang tersendat, gadis itu membutuhkan sesuatu untuk dipegang tapi tak ada yang mengerti.

Tubuhnya kaku, tak mampu digerakkan lagi. Wajah ibunya yang telah membiru, aroma menyengat menusuk hidung, Dian mencoba mendekat lagi. Memastikan kalau semua ini mimpi buruk dari sekian banyak hal buruk lainnya, namun tidak.

Tangan nan dingin itu berhasil ia genggam, sama sekali tak ada kehangatan disana. Dian menatap setiap wajah yang hadir disekeliling nya, lalu berhenti disudut ruangan.

Di ujung sana, kematian Dian yang tertunda sedang membalas tatapan nya. Penuh dendam, penuh kebencian dan betapa besar luka yang telah ia ciptakan.

Dian menahan segalanya sendirian, hingga sepucuk surat diberikan kepadanya.

Orang yang memberikan itu adalah adik ibunya, surat itu tersegel dengan rapi. Menunjukkan bahwa tidak ada siapapun yang boleh membuka nya selain sang empunya, yaitu Dian sendiri.

Dian tahu, apapun yang tertulis disana adalah luka mereka bersama. Luka yang bahkan tidak akan sembuh sampai kapan pun, gadis itu melepaskan genggaman tangan dari sang ibu. Kemudian menatap nanar kertas yang ia pegang, berharap jika isinya bukan lah sesuatu yang bisa memicu darah bertumpah.

Tapi apalah daya, Dian harus berhadapan sekali lagi dengan penderitaan yang jauh lebih sakit dari sekedar luka tergores.

The Day I LeftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang