31

18 5 0
                                    

Roni datang kerumah sakit tempat adiknya bekerja, tujuan nya bukan cuma ingin melihat sang adik tapi juga mencari keberadaan sahabatnya, Aldo menghilang dari peredaran bumi setelah hari itu. Dia bahkan tak bisa menemui Aldo dirumahnya karena selalu bepergian, jadilah Roni bertanya kepada Sari soal Dian dan apa saja yang telah dia lewatkan.

Ia juga baru tahu kalau pasien yang selama ini selalu diceritakan oleh adiknya ternyata Dian, entah mengapa setiap kali Eri menceritakan soal Dian membuat Roni tertarik untuk mendengarkan. Dia tidak mengerti kenapa Eri begitu menyayangi Dian padahal bukan hanya gadis itu yang menjadi pasien nya, Dian seakan memiliki tempat tersendiri dalam kehidupan Eri.

Dan yang orang lain tidak akan mengerti adalah, Eri pernah menangani kasus serupa sebelum ini. Sayangnya, orang itu berhasil mengakhiri hidup yang mana meninggalkan sejuta penyesalan dalam hidup Eri sampai detik ini.
Pria itu berjalan mencari keberadaan adiknya, dan telah bertanya kepada penjaga didepan. Ruangan Eri terletak didekat taman, berhadapan dengan ruang rawat Dian.

Melihat dari kejauhan sosok Eri yang tengah mengajak seseorang bicara, membuat Roni menunggu beberapa saat dan memerhatikan mereka dari jauh. Adiknya sangat perhatian kepada siapa saja, rasanya Roni tidak bisa membayangkan kalau suatu hari nanti wanita itu akan menikah.
Mereka hanya dua bersaudara, sama seperti Aldo.

Hanya saja ada sedikit perbedaan antara dirinya dan Aldo, jika ada yang bertanya kenapa adik mereka tidak seumuran itu karena orangtua Aldo memang menunda mempunyai momongan setelah kehadiran anak pertama.

Adik Aldo adalah hasil bayi tabung, bisa dibilang anak mahal.

Eri menyadari kedatangan kakaknya, seketika melambaikan tangan.

"Abang!" Serunya memanggil Roni yang terdiam melihat mereka. Dian yang menjadi teman bicara Eri pun ikut menoleh menoleh kebelakang, ia telah sadar sepenuhnya dari kegelapan dunia tak bertepi dan tentu saja Dian mengenal laki-laki gondrong itu.

Dalam beberapa saat Dian termenung demi mengumpulkan beberapa ingatan dari masa lalu, ketika Roni memberinya air minum dan roti, atau sering kali ia menerima buku tugas dari pria itu. Ia tidak tahu kenapa dulu menerima semua pemberian Roni dengan begitu mudahnya, apalagi gaya bicara lelaki itu sangatlah menyebalkan. Menyadari kalau tadi Eri memanggil Roni dengan sebutan abang, membuat Dian menggenggam tangan dokter yang telah merawatnya.

"Kenapa, Di?" Tanya Eri sambil membalas pegangan tangan Dian.

"Dia kakak mu?"

Erianna mengangguk senang, kalau dipikir-pikir, Dian pasti sudah kenal dengan kakak nya apalagi berkaitan soal Aldo. Aldo dan Roni bagaikan lem perangko yang menempel kemana pun, dimana pun.

"Iya, kamu kenal kan? Dia juga teman nya mas Aldo, ingat?"

Eri menerima elusan dikepala nya saat Roni sudah berada didekat mereka berdua, Dian yang melihat betapa tinggi nya pria itu hanya bisa menelan ludah. Jika didekatkan sebenarnya Roni lebih tinggi dari Aldo, tapi tetap saja Dian pendek dari mereka semua.

"Hai. Apa kabar? Lo gak lupa sama gue kan?" Sapa Roni ketika ia sadar Dian menatap was-was kepadanya.

Dian tak berniat menjawabnya, tapi ia juga tak menolak ketika Roni mengulurkan tangan memaksanya bersalaman. Eri tertawa melihat sikap pemaksa kakak nya, sudah tidak heran lagi.

"Abang kenapa kesini?"

"Nyari si Aldo, gila susah banget nemuin tuh anak. Ngilang kayak ditelan paus, gak ada kabar berita. Orang nya belom datang?"

Roni melihat sekeliling mereka dan memang tidak ada jejak Aldo disini.

"Mas Aldo belum datang, biasanya gak pernah pernah sesiang ini. Mungkin lagi ada urusan, kenapa gak telpon?"

Lelaki berkumis itu duduk disebelah Dian, tidak merasa bersalah sama sekali walau tahu wajah risih gadis itu.

"Nelpon Aldo sama aja kayak nelpon operator kartu, gak ada jaringan dan gak nyambung. Entah kenapa dia beli ponsel kalo gak pernah digunain, heran."

"Tunggu sebentar lagi coba, biasanya emang udah dateng. Oh iya, Di. Kamu tunggu disinis dulu ya, aku mau ambilin sarapan buat kamu. Sekalian obat nya, gak apa-apa kan sama abangku?"

Dian mau menjawab tidak, tapi sudah keduluan oleh laki-laki disebelahnya.

"Ya gak apa-apa lah sama gue, lagian disini enak banyak pemandangan dari pada dikamar terus. Liatin tembok!"

Dian sudah ingat semua nya, dan dia juga tidak lupa memberitahu kalau Roni ini memang menyebalkan saat bicara. Akhirnya Dian mengangguk pasrah pada Eri, gadis itu pergi meninggalkan mereka berdua saja.

"Ngomong-ngomong, si Aldo gak ikutan tinggal disini gitu bareng sama lo. Biar asik aja nyebarin benih cinta di rumah sakit jiwa, ya kan!"

Dian tidak tahu kenapa rasanya dia ingin sekali memukul atau merobek mulut Roni yang kasar, Aldo tidak gila jadi untuk apa dirinya tinggal disini. Lalu bagaimana dengan dirinya, Dian mendengus kesal. Sudah jelas jawaban nya, Dian membuang muka tak mau mendengarkan ocehan Roni.

"Ardianti Kusuma, nama lo bagus deh. Dulu gue pikir jadi kurir si Aldo bakalan enak karena selalu dikasih makan siang gratis, apa-apa dibayarin tapi entah kenapa sekarang gue sedikit nyesel."

Roni bicara kepada angin yang berhembus, dia tidak menatap orang disebelahnya dan hanya memandangi rerumputan hijau taman. Dian mau tak mau menoleh kesamping, ikut memandangi wajah Roni yang tampak berantakan tapi masih terlihat tampan.

"Gue pikir cuma Aldo yang gagal move on, tapi ternyata gue juga."

Mereka berdua saling bertatapan dalam waktu yang cukup lama, meski mereka berhasil saling menyelami mata masing-masing getaran dalam hati Dian tak pernah menyala untuk orang lain. Sejak dulu, getaran indah itu hanya milik Aldo seorang.

"Tapi sejak awal memang bukan gue, jadi ya gak masalah. Gue cuma berharap Aldo gak ikutan tinggal disini karena ditolak, lo tahu apapun yang gue lakukan dulu itu semua karena Aldo yang minta. Gue bilang ini bukan untuk mengesankan lo, tapi ya, lo harus sembuh dan balas semua pengorbanan sahabat gue."

"Di. ."

"Aldo itu bukan cuma cinta sama lo, tapi dia tergila-gila sama lo. Dan lo gak akan paham sehancur apa dia seandainya lo nolak dia, gue kenal dia lebih siapapun."

Dian tidak tahu harus bereaksi seperti apa setelah mendengar Roni bicara panjang lebar, dia hanya termangu mencerna setiap kalimat yang mengalir dari bibir lelaki itu.

Satu-satu nya yang Dian mengerti adalah, cinta nya tidak bertepuk sebelah tangan. Aldo juga diam-diam mencintainya, tapi apakah Dian masih pantas menerima orang lain dalam hidupnya. Setelah kisah kelam kemarin rasanya Dian tak sanggup menyeret Aldo masuk kesana.

"Lo harus janji sama diri sendiri, lo harus sembuh apapun yang terjadi. Dunia lo memang buruk, tapi dunia orang lain gak seburuk perkiraan lo. Aldo benar-benar berhak mendapatkan balesan setimpal karena mencintai lo, gue harap lo tahu dan ngerti apa yang gue bicarakan."

Setelah berkata demikian, Roni bangkit dari duduknya. Kebetulan yang tak terduga, dari jauh dia sudah melihat sosok Aldo berjalan mendekat kearah mereka. Pria itu membawa seikat bunga lili putih dan tersenyum sumringah, Roni memang tidak akan mengerti tentang cinta.

Ia sempat terpesona oleh Dian, tapi itu dulu. Perasaan nya kepada Dian bukan sesuatu yang serius, dan dia tidak segila Aldo tentu saja.

"Kalo gue bilang lo adalah perempuan beruntung dicintai sehebat itu oleh Aldo, apakah lo setuju, Di?"

Dian mengikuti arah pandang Roni yang menuju kepada Aldo, Dian tidak bodoh, dia hanya takut.

Takut kalau membawa Aldo masuk kehati nya lebih jauh akan menimbulkan masalah untuk pria itu, apalagi perbedaan mereka begitu besar terpampang.

"Mungkin iya, tidak ada orang segila dia yang mau mencintai gadis gila sepertiku." Jawaban singkat Dian membuat Roni tertawa keras hingga berulang kali tersedak ludahnya sendiri.

Lucu memang kalau sudah menyangkut cinta.

The Day I LeftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang