Aldo menatap kertas berisi alamat rumah sakit tempat Dian dirawat, dia sudah berada disana sejak dua jam yang lalu namun tak berani masuk apalagi mendekat kesana.
Hatinya seakan belum siap menerima kenyataan pahit yang terhidang didepan mata, tapi disudut terdalam Aldo ingin sekali melihat keadaan Dian.Apakah dia dirawat dengan baik selama disini, apakah dia masih bisa mengenali orang-orang, seburuk apakah kondisi nya sampai harus tinggal disini.
Kenapa Aldo tidak sanggup berhadapan dengannya padahal ia sudah menghabiskan hampir empat bulan lama nya untuk mencari keberadaan gadis itu.
Kenapa begitu sulit memahami takdir mereka, kenapa Tuhan memberikan jalan cerita yang mengerikan untuk kisah cintanya.
Aldo meremas kertas itu sangat erat, apa yang harus dia katakan andai bertatap muka dengan Dian. Gadis itu pasti tidak mengenal nya.
Dalam kebingungan yang mendalam, Aldo tersadar ketika seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
"Mas Aldo? Kok disini, ngapain?" Suara seorang perempuan mengejutkan Aldo yang sedari tadi melamun.
"Eri? Kamu kerja disini?"
Aldo terkejut melihat keberadaan adik Roni, bukankah perempuan itu bekerja dirumah sakit umum lalu apa yang dia lakukan disini.
"Baru beberapa bulan pindah sini mas, mas Aldo kok bisa disini? Nyari seseorang kah?"
Wanita itu penasaran dengan sikap Aldo yang mendadak kaku, tidak seperti biasanya.
Belum sempat Aldo menjawab pertanyaan adik sahabatnya, seseorang meneriakkan nama gadis itu dari kejauhan. Yang mana membuat Aldo juga menoleh.
"Dokter, pasien kamar 102 histeris lagi."
Aldo yang masih bingung spontan mengikuti Eri berlari menuju kamar yang dimaksud, dia tidak tahu kenapa melakukan ini tapi sudah jelas kalau Aldo butuh bantuan untuk sekedar bertanya tentang Dian.
Eri, nama panggilan akrab adik Roni itu. Ia menatap wajah cemas perempuan ketika berhasil masuk ke ruangan 102, suara tangisan dan raungan berhasil masuk ke indera pendengaran Aldo. Anehnya kedua kaki pria itu tak mampu melangkah lebih dekat untuk bisa melihat siapa yang menjerit sehisteris itu, Aldo membeku dibalik jendela kecil yang memperlihatkan adegan dramatis tersebut.
Surai panjang yang kusut, seragam rumah sakit penuh noda merah dan makanan yang berhamburan, lagi teriakan mengerikan itu terdengar.
Eri tampak tenang menghadapinya, gurat kesedihan jelas terlihat diwajahnya. Menjadi seorang dokter tentu bukan hal yang mudah, apalagi specialis kejiwaan seperti Eri.
Begitu banyak berhadapan dengan orang-orang seperti ini, selain sulit melawan rasa takut juga pasti ada kisah sedih dibalik kegilaan mereka.Aldo hendak berpaling ketika pakaian pasien itu terbuka, namun saat rambutnya yang kusut tersingkap kedua matanya membulat sempurna.
Aldo tidak tahu momen seperti ini akan terjadi dalam hidupnya, keadaan yang tidak diharapkan.
"Dian. ."
Bibirnya berbisik lirih ketika melihat dengan jelas bahwa pasien yang tengah mengamuk itu adalah orang yang selama ini dia cari keberadaan nya, Aldo tidak dapat menahan diri ketika melihat tangan gadis itu kembali meraih cutter. Ia berlari tanpa memperdulikan tubuhnya yang tinggi hampir terjungkal, Aldo berlari menerobos masuk dalam ruangan dan memeluk tubuh ringkih itu begitu erat. Sampai teriakan yang tadinya terdengar mendadak hilang, Aldo memeluk Dian dengan penuh haru.
Ia tidak mengharapkan pertemuan mereka akan seperti ini.
"Mas Aldo. ."
Eri yang melihat itu syok tentu saja, pikiran nya seketika menggelap. Dokter muda itu memundurkan diri begitu juga suster yang tadi menahan tangan Dian.
"Aku menemukanmu, aku berhasil menemukan mu, Di."
Aldo tak kuasa menahan airmatanya, pria itu menangis karena sedih mendapati gadis pujaan nya dalam keadaan begini.
Semua orang mendadak senyap, seharusnya Aldo mendengar kabar baik soal keberhasilan Dian dalam menjalani kehidupan nya tapi justru kejadian mengerikan yang terkuak.Dian hanya diam ketika dipeluk oleh orang asing dihadapan nya, pelukan yang terasa sangat familiar namun ia tak mampu mengenali siapa orang tersebut. Dian tidak tahu siapa dia, dia tak mengenal siapa-siapa lagi selain ibunya.
Aldo mengambil cutter dari tangan Dian, lalu melemparkan nya ke sudut ruangan. Ia menatap pedih luka goresan yang berbaris rapi di tangan Dian, menatap penuh penyesala ke mata indah nan sendu milik Dian.
Jika dulu ia hanya melihat kesedihan yang pekat, sekarang tidak ada apa-apa disana selain kekosongan. Hidup gadis itu telah dirampas paksa, namun ia masih bertahan dengan keadaan yang menyedihkan.
"Mas . ."
"Mas ingin merawat dia, kamu bisa bantu kan Ri?"
Eri yang melihat kesungguhan dimata lelaki itu entah mengapa merasakan sedikit denyutan nyeri didada nya, apakah Dian adalah gadis yang dicintai oleh Aldo selama ini?
Apakah sosok pangeran yang selalu dibicarakan oleh Dian kala itu, adalah Aldo?
Bagaimana dia bisa terjebak diantara dua orang ini, dan sialnya, Eri juga mencintai Aldo sejak dulu.
Tidak ada yang tahu soal perasaan nya, bahkan kakak nya sekali pun.
Hidup tidak seindah yang dikatakan orang-orang.
Erianna harus menerima dua kenyataan sekaligus dalam satu waktu, cerita macam apa ini, apakah dia akan menjadi orang jahat dikisah mereka.
Eri ingin Aldo, tapi Aldo justru menginginkan orang lain.
Selama ini, dialah yang terlalu berharap lebih. Sedangkan Aldo, pria itu memang selalu bersikap baik kepada siapapun.
Noted : Untuk orang-orang yang sedang berjuang melawan kerasnya kehidupan, kalian hebat sudah bertahan sejauh ini. Hidup memang tidak seindah karangan fiksi, tapi aku yakin kalian punya alasan untuk bertahan.
Kalian harus kuat!
Kalian harus semangat!Aku dedikasikan cerita ini untuk diriku sendiri, dan mereka yang sudah berjuang keras melawan ketidakadilan dalam hidup.
Aku berikan cerita ini untuk kalian, Dian-Dian diluar sana yang telah berjalan melewati badai :) ♥️
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day I Left
General FictionCerita ini hanya karangan tak pasti, tiada akhir yang bahagia untuk kisah yang tragis.