6

36 6 1
                                    

Rumah sakit tampak ramai, ada banyak orang yang datang kesini. Entah sebagai pasien atau pengunjung, semua orang asing berkumpul disatu tempat demi melihat anggota keluarga mereka yang tengah dirawat.

Hanya di tempat Dian yang terasa sunyi, tubuh yang terbaring lemah itu tidak bergerak meski sudah setengah hari tertidur.
Infus terpasang rapi di tangan kanan nya, selang oksigen bahkan ikut membantu Dian bernafas dengan baik. Rasa sakit seperti ini tidak pernah bisa dijelaskan melalui kata-kata bijak penuh nasihat, bila bukan terbujur kaku jadi mayat maka hanya ada tubuh tanpa nyawa.

Segala sesuatu yang berkaitan soal kesehatan mental bukan setumpuk buku yang wajib dibaca, tanpa memahami isi dari kandungan setiap kalimat, kenyataan tak selalu indah, perasaan seseorang adalah hal yang paling sensitif untuk dicerna akal sehat. Untuk menyadari betapa mengerikan rasa sakit akibat trauma itu sendiri, hanya orang yang pernah mengalami nya sendiri.

Bukan tidak punya keyakinan, mereka yang tenggelam dalam rasa kecewa tak mau membebani orang lain dengan cerita menyedihkan mereka, memilih diam dan memendam sendiri masalah lalu melampiaskan dengan menyakiti jiwanya. Mereka membutuhkan tempat bersandar, semua orang berhak mempercayai Tuhan mereka.

Mereka yang mengalami kesakitan juga meyakini kalau Tuhan itu maha baik, hanya saja makhluk yang disebut manusia kadang tak berperilaku seperti seharusnya. Dian mulai menggerakkan jemarinya, walau terasa berat dan sesak sepasang mata itu terus berusaha terbuka.

Mungkin, jauh didalam sana sudah tidak ada harapan lagi untuk menjadi baik.

Tapi, Dian terus membangunkan dirinya agar melanjutkan perjuangan.

Dokter segera mendatangi nya saat tahu bahwa Dian telah sadar, seolah ada ikatan antara pasien dan perawat. Perempuan berhijab itu segera mendatangi Dian, lalu mengajukan beberapa pertanyaan random yang memicu kesadaran gadis itu.

Dian menjawabnya dengan suara serak, tenggorokan nya kering. Ia butuh minum, dan suster tahu kalau pasien nya membutuhkan segelas air.

Setelah dirasa semuanya membaik, suster meninggalkan Dian dan dokter cantik itu berdua saja. Tidak lupa ia juga menutup tirai, menjaga privasi pasien dari pengunjung lain yang memiliki rasa ingin tahu.

Ada jeda sebelum pembicaraan dimulai, seolah waktu sebentar itu adalah persiapan sebelum memulai sesi tanya jawab yang mengundang segudang air mata.

Dian hanya memberikan pandangan sendu kepada dokternya, tidak mengatakan apa-apa selain menunggu pertanyaan yang akan diajukan.

Menarik nafas berat, lalu melepaskannya.

"Kamu kenapa? Biasanya enggak gini."

Dan ketika hal itu ditanyakan, Dian tidak mampu membendung air mata yang berjatuhan. Dirinya merasa tersudut bahkan hanya dengan sebaris kalimat, mereka sudah lama saling mengenal. Dian sudah menjadi pasien dokter Anna selama tiga tahun, anggap mereka telah berteman selama itu. Segala sesuatu yang tak mampu Dian ceritakan kepada orang lain, bisa didengar oleh Dokter Anna secara keseluruhan.
Sesuatu yang mengoyak hati bagi siapa saja yang mendengarkan, merobek segala kepercayaan demi sebuah nafsu hewan, dan kehancuran diri seorang gadis belia.

Dian menangis meluapkan rasa takut, cemas dan putus asanya. Setelah hampir empat tahun tidak mendengar apapun tentang keluarga nya, kini Dian harus menerima kenyataan kalau satu-satu nya alasan Dian ingin hidup telah tiada.

Rasa cinta dan ingin berjumpa dengan orang itu harus ia kubur sedalam mungkin karena ketakutan Dian mengalahkan semua keberanian yang tersisa, Dian tidak membenci sosok yang bernama ibu, Dian hanya tidak mampu menatap kedua mata ibunya yang telah berjuang menghidupi Dian selama ini. Meski rutin mengirimkan separuh gaji nya, Dian tak mampu menebus waktu yang hilang diantara mereka.

Bukan tanpa alasan, Dian hanya tidak mau bertemu dengan orang yang telah melukainya sedalam ini.

Susah payah Dian berjuang menjauhkan diri, kembali ke tempat yang disebut rumah hanyalah cara agar dirinya cepat mati tanpa memikirkan apa-apa lagi.

"Kamu tahu kan, kita sudah melakukan perjuangan bersama selama ini. Di, kamu gak akan pernah mau hidup dalam bayang-bayang rasa takut. Melawan adalah satu-satu nya hal yang bisa membebaskan kamu dari semua penderitaan ini."

"Aku gak bisa, setiap kali memikirkan rumah, aku selalu seperti ini. Bahkan hanya dengan mendengar namanya saja, aku bisa sekarat. Bagaimana aku akan melawan nya?"

Mereka berhenti bicara saat sudah mencapai tahap ini, Dokter Anna tak bisa memaksakan saran nya untuk Dian. Setidaknya ia masih mendengar suara tangisan Dian, yang artinya gadis itu masih mempercayai dirinya sebagai pendengar yang baik.

The Day I LeftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang