Pekerjaan memang sangat membosankan, apalagi dilakukan setiap hari. Tidak ada perbedaan antara hari ini dan kemarin, bahkan seperti apa hari esok sudah bisa ditebak apa saja yang akan terjadi. Meski tidak banyak hal yang akan terjadi, tetap saja memusingkan kepala. Dian menatap wajah bengis atasan nya, hari ini adalah salah satu hari yang melelahkan di antara yang telah lewat.
Kesalahan kecil yang lagi-lagi bukan Dian pelakunya tapi harus bertanggung jawab, sebegitu tidak penting nya usaha Dian dimata orang-orang itu sehingga mudah bagi mereka lempar batu sembunyi tangan. Dimana pun pasti akan ada satu orang yang tidak suka dengan keberhasilan kita, jadi tak perlu heran. Kali ini Dian hanya perlu menutul mata dan telinga seperti biasa, seakan tak mendengar hinaan apalagi caci maki yang sebenarnya menyakitkan.
Dian membayangkan sepulang kerja dia bisa menonton drama favorit nya, makan mie instan pedas yang lagi digemari orang-orang, tidak lupa kopi yang menenangkan jiwa. Dian terus membayangkan hal menyenangkan itu dalam kepala nya sampai tak sadar kalau kemarahan bos telah usai.
Begitulah caranya bertahan dari setiap hal buruk, membantu pikirannya tetap sehat dan waras.Uang memang bukan segalanya, tapi uang mampu membeli apa yang tersaji didepan mata, bahkan nasi goreng pun dibeli dengan uang bukan cerita sedih. Dian menawarkan segelas teh hangat kepada bos nya sebelum pergi dari ruangan yang terasa menyesakkan itu, tidak mendapat jawaban gadis itu tetap saja membuatkan nya.
Tidak peduli apa yang orang pikirkan tentang dirinya, Dian mencoba melakukan yang terbaik. Dia bukan penjilat, hanya saja hal seperti ini sudah sepatutnya Dian lakukan agar hati atasannya itu tetap senang.
Tidak peduli seberapa hancur hati Dian sebagai karyawan biasa, dia mengerjakan semua dengan mudah dan ringan seolah tak ada beban dipundak.Meletakkan segelas teh hangat diatas meja, Dian pamit keluar melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
Sebelum ia sempat memegang handle pintu, langkah Dian dihentikan oleh suara bos nya.
"Saya tahu kamu terluka karena sikap saya, Dian. Tapi satu-satu nya orang yang bertahan dengan kekurangan saya ya cuma kamu, tolong maafkan semua ucapan saya barusan. Saya harap kamu memahami apa yang saya rasakan."
Sudah tidak terhitung berapa kali ia mendengar kalimat yang sama, dari orang yang sama. Dian tersenyum mengarah kepadanya, seolah dia memang tak terluka.
Ia selalu mencoba memahami keadaan orang lain tanpa menunjukkan betapa rusak dirinya didalam sini."Saya mengerti bu, selama gaji saya dibayar tepat waktu semua akan baik-baik saja untuk saya."
Tidak ada kelanjutan dari pembicaraan mereka, wanita yang menjabat sebagai bos Dian itu pun hanya menatap gadis itu dengan rasa bersalah. Orang-orang dibalik layar yang menuntut nya agar melakukan pekerjaan yang begitu melelahkan sehingga ia sendiri merasa lelah dengan semua tuntutan, tidak punya tempat bercerita dan melampiaskan semua nya kepada gadis baik seperti Dian.
Dibalik meja kerjanya, Dian menatap kosong layar komputer yang menyala. Kali ini hantaman dikepala nya terasa sekali, denyutan penuh rasa sakit itu mengoyak luka lama yang berusaha Dian kubur. Naik ke permukaan, memenuhi rongga dada nya menimbulkan sesak yang tak kunjung henti. Ia menarik laci dan menemukan sebotol kecil obat yang selama ini telah menjadi candu, Dian bukan orang yang sempurna tapi dia selalu berhasil menunjukkan kesempurnaan sandiwara dihadapan banyak orang.
Menelan dua sekaligus, Dian tak meminum seteguk air pun untuk membasahi tenggorokan nya. Terbiasa adalah satu-satu nya hal yang akan memaksamu melakukan tindakan diluar dugaan, ia tersenyum getir menunggu reaksi dari obat nya.
Menjalani kehidupan membutuhkan tenaga, pikiran yang selalu terguncang dan fisik yang tidak sehat adalah kekurangan Dian, itu hanya satu dari sekian banyaknya ketidak sempurnaan perempuan lemah sepertinya.
Waktu berjalan begitu cepat, tidak terasa sudah jam pulang. Dian meregangkan otot tubuh sebelum membereskan meja, menyusun kembali kertas dan map yang berserakan. Mematikan komputer lalu memakai cardigan miliknya yang tergantung di sudut ruangan, tempat pengap ini telah menjadi saksi atas kerja kerasnya. Walau tak dihargai, Dian sudah melakukan sebisanya.
"Setidaknya masih hidup dan melanjutkan kebodohan ini besok lagi." Gumam gadis itu sambil berlalu meninggalkan ruangan nya, tidak ada basa-basi sesama karyawan. Dian merasa tidak pantas memiliki teman, apalagi kehidupan nya tidak secerah warna pakaian yang selalu dia kenakan.
Dian tidak punya teman sejak kecil, seolah memang sudah ditakdirkan seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day I Left
General FictionCerita ini hanya karangan tak pasti, tiada akhir yang bahagia untuk kisah yang tragis.