19

16 5 2
                                    

Aldo tiba dirumah Dian, ia melihat halaman rumah itu telah rapi. Dua bulan lamanya dia membersihkan tanpa diminta siapapun, pria itu memandangi bangunan yang tampak tua tersebut. Kembali bertanya, tragedi macam apa yang telah terjadi didalam sana sehingga banyak cerita mengerikan yang Aldo dengar.

Ia menunggu Sari menemuinya, Roni memberikan nomor gadis itu dan Aldo segera menghubungi nya untuk bertemu. Dia tak punya banyak waktu untuk dibuang sia-sia, Aldo ingin segera tahu penjara mana yang telah mengurung gadis pujaan nya.

Jika kalian bertanya apakah Aldo masih mengharapkan Dian menjadi pendamping hidup, atau masih mencintainya sepenuh hati.
Jawaban nya adalah, ya.

Aldo masih begitu mencintai dan menginginkan Dian dalam hidupnya, katakanlah dia bodoh sebodohnya. Anggaplah Dian wanita terakhir dimuka bumi ini sehingga Aldo tak mampu mencari yang lain, anggaplah Aldo tak berguna karena tidak mampu meninggalkan kisah hidup Dian dan menciptakan dunia nya sendirian.

Sari muncul dari samping rumah, jujur saja penampilan Sari sangat sopan dan tertutup, senyum ramah diwajahnya akan membuat siapa saja ikut dihargai. Aldo memikirkan betapa cocoknya Sari untuk Roni, tapi segera menepis pikiran itu karena sekarang bukan saat nya.

Wanita itu mengajak Aldo duduk di bangku kayu yang terletak di teras rumah kosong milik keluarga Dian, rumah ini menyimpan cerita kelam. Sari yang sudah lebih dulu duduk hanya bisa termenung sesaat, mengingat kembali kejadian hari itu.

Sari berada disana ketika Dian datang dalam keadaan kacau, penampilan nya sungguh menyedihkan. Siapapun akan seperti itu bila ditinggal pergi oleh ibu, Sari terenyuh saat mendengar rintihan pilu dari Dian. Orang yang bahkan tak pernah tersenyum, namun ketika dia menangis semua orang ikut merasakan nya.

Aldo yang melihat sepasang mata Sari berkaca-kaca jadi segan untuk membuka suara.

"Mbak Dian itu orang nya baik sekali, sampai saya sulit menceritakan ini. Orang tua saya juga akan marah kalau sampai tahu, saya menceritakan masalah ini ke orang asing."

"Tapi saya bukan orang asing."

Aldo tidak mau dianggap asing oleh Sari, dia mungkin belum menjadi siapa-siapa sekarang bagi Dian, tapi nanti ia harap mampu menjadi seseorang yang penting.

"Saya tahu, mas Aldo adalah orang baik. Buktinya rumah ini dibersihkan, mas juga rajin siram tanaman ibunya mbak Di. Mas membuat rumah ini kelihatan lebih baik."

Entah mengapa Aldo tak mau bersuara walau ia ingin sekali menyuruh gadis itu agar segera menceritakan masalah sebenarnya, gelagat Sari yang sesekali termenung lalu mengusap airmata mengurungkan keinginan itu. Aldo memilih untuk menunggu, biarlah cerita ini mengalir dengan sendirinya.

"Orang-orang dikampung sini memang gak akan buka mulut kalo ada yang nanya soal mbak Dian, pak RT dan warga lainnya sudah sepakat untuk tutup mulut dan tidak boleh ada kabar apapun yang tersebar kemana-mana soal kejadian itu."

"Mungkin, kalo mas Aldo datang lebih cepat kejadian ini bisa dihindari. Tapi rasanya gak mungkin, mbak Di sudah terlalu lama memendamnya sendirian. Kami yang tidak pernah mendengar suara teriakan, apalagi kemarahan semengerikan itu harus menjadi saksi betapa pedihnya menyimpan luka sendirian. Mbak Dian menusuk ayahnya sendiri dengan pisau, didepan jenazah ibu."

"Awalnya kami tidak paham dan tidak mengerti kenapa Mbak Dian bisa melakukan hal itu, apalagi selama ini kami mengenal ayahnya sebagai guru ngaji yang baik dan santun. Rasanya sangat mustahil pak Anton melakukan kesalahan yang amat fatal, sampai mbak Dian sendiri yang meluapkan kemarahan nya. Surat yang dia buang ke wajah pak Anton dibaca oleh banyak orang, dan hari itu kami tahu kalau ada kisah mengerikan dibalik kebahagiaan mereka selama ini."

Aldo merapatkan tubuhnya ke dinding rumah, bersandar sembari menatap ke langit yang gelap. Hatinya hancur tak terbentuk, apakah ini alasan kenapa Dian tidak pernah sekali pun tersenyum.

"Mbak Di adalah korban pelecehan ayahnya selama bertahun-tahun, ibu mengetahui hal itu tapi tak pernah melaporkan nya. Mbak Dian pergi dari rumah dan tak pernah kembali setelah lulus kuliah, kepulangan nya justru membuat cerita pahit. Saya sebagai seorang anak, sesama perempuan sangat menyayangkan sikap ibu yang tak mau melaporkan hal itu. Mbak Di yang beranggapan kalau dirinya tak pantas hidup, semua jadi satu dendam yang tak terampuni."

Sari memandangi halaman luas yang telah bersih, tangisan Dian malam itu masih terngiang-ngiang ditelinga nya. Tidak hanya tangisan, tapi juga tawa sumbang yang memilukan.

Tangan yang bersimbah darah, wajah nya yang pucat, dan rasa sakit yang memancar hebat dari kedua matanya menyihir semua orang tenggelam bersamanya. Tidak pernah ada yang seperti ini sebelumnya.

"Pak Anton terluka parah, dan sampai sekarang belum ada kabar lagi. Tapi mbak Dian sudah dirawat oleh pihak yang berwenang, gangguan mental yang dialami nya sudah masuk kedalam fase berat. Depresi yang menyebabkan dia kehilangan pekerjaan, dan aksi percobaan pembunuhan itu membuat kami semua prihatin atas dirinya. Itulah mengapa, orang-orang tidak mau membicarakan soal Mbak Di. Kami hanya tak mau menambah luka seorang anak yang malang seperti dia, kami tidak berhak membuka kisah mereka."

Aldo meneteskan airmatanya, membayangkan hal itu terjadi kepada adiknya. Ikut merasakan rasa sakit yang Dian alami selama ini, bagaimana bisa ada sosok ayah yang sejahat itu.

Darah daging mereka sendiri, tidakkah dia merasa malu? Dimana akal sehat nya, dimana letak hati nurani nya saat melakukan kekejian itu.

Sari meneruskan ceritanya dengan Aldo yang telah berkelana dengan pikiran nya sendiri, harus bagaimana melanjutkan kisah mereka.

Yang bahkan belum sempat dimulai.

The Day I LeftTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang