Tahun terakhir ia berada disini, tak ada hal yang mengesankan selama menempuh pendidikan selain mengagumi sosok itu dari jauh.
Dian akhirnya mampu menyelesaikan semua kerumitan dalam hidupnya, setidaknya berkurang satu hal yang menyusahkan pikiran nya. Gadis itu duduk ditengah keramaian, pakaian mereka semua hampir sama, yang membedakan hanya riasan wajah. Dian tak membutuhkan riasan hanya untuk menghadiri acara seperti ini, setelah ini kesulitan lain sedang menunggu nya jadi ya tak perlu dirayakan.
Dian menatap orang itu sudah menerima penghargaan sebagai mahasiswa terbaik, senyuman itu lagi-lagi mampu menenangkan hati Dian yang bergemuruh. Ia juga melihat orangtua lelaki itu datang, dia memiliki keluarga cemara yang tak akan pernah bisa Dian rasakan selama hidup nya. Bahkan di acara penting ini pun Dian hanya seorang diri, menyedihkan memang tapi mau bagaimana lagi. Dian sudah terlatih selama ini, batu kerikil bukanlah halangan untuk Dian terus melangkah.
Menunggu giliran namanya dipanggil, Dian sesekali menghembuskan nafas berat yang menyesakkan. Sekuat apapun dia mencoba menahan, Dian hanyalah manusia biasa. Setidaknya, dia membutuhkan seseorang yang bangga atas pencapaian dirinya. Tidak ada yang berharga, namun ia tetap ingin dihargai selayaknya seorang yang telah bekerja keras melawan segala kekecewaan.
"Ardianti Kusuma!"
Perempuan bertubuh mungil itu bangun dari kursinya, berjalan menegakkan bahu dan menatap lurus kedepan seolah tak ada gejolak menyakitkan dan memualkan dalam dirinya. Suara tepuk tangan bergemuruh dalam ruangan besar ini, namun Dian tak mampu merasakan kebahagiaan sedikit saja. Ia hanya memasang wajah sendu dan tak bergairah, menutupi segala kepahitan dengan sepasang mata dingin nya yang rapuh.
Tanpa terasa, dia sudah berdiri diatas panggung. Menerima tanda kelulusan lalu bersalaman, meneruskan langkah meninggalkan mereka semua. Dian sudah tak mampu membendung rasa mual menyakitkan ditenggorokan nya, sampai melupakan dimana dirinya berada. Gadis itu berlari keluar aula, menuju kamar mandi terdekat dan memuntahkan isi perut namun tak keluar apapun selain air putih dan bau menyengat.
Dia melupakan makan lagi, sudah tiga hari dia menahan rasa sakit ini. Menatap pantulan wajah sendiri di cermin, Dian tertawa getir.
Sekeras apapun dia mencoba waras, Dian hanya membodohi diri sendiri.Setelah merapikan penampilan nya, Dian keluar dari kamar mandi dan semua orang telah selesai dengan urusan mereka. Kini saatnya berfoto bersama, Dian menyudutkan dirinya agar tidak terjangkau oleh kamera namun tangan seseorang menarik dirinya agar berdiri disebelah orang itu.
Satu hal yang Dian tidak mengerti adalah, mengapa waktu seakan berhenti ketika ia tahu bahwa orang yang menariknya adalah lelaki yang ia kagumi. Dian tidak menyadari bahwa tatapan nya fokus kepada orang itu bahkan setelah fotografer mengatakan selesai, ia tetap tak mengalihkan pandangan.
Ini bukan mimpi, tentu saja Dian tidak bermimpi apalagi perutnya semakin terasa pedih. Dian membutuhkan sesuatu untuk dimakan, dan harus pergi dari sini secepat mungkin sebelum ia mempermalukan diri sendiri.
"Aku tahu ini aneh sekali, tapi tetaplah hidup untuk menunggu aku mencari mu." Kata-kata itu keluar dari bibir orang yang bahkan tak pernah Dian bayangkan akan bicara dengan nya, gadis itu masih terpaku dalam khayalannya sehingga tak menyadari kalau dia sudah menjauh. Meninggalkan Dian sendiri berdiri seperti orang bodoh, tersadar oleh rasa mualnya lagi, Dian melupakan perkataan sesaat lelaki itu.
Bahkan setelah ini Dian tidak tahu apakah dia masih hidup dan mencintai lelaki itu, andai pun ia menjalani kehidupan baru biarlah kenangan tentang perasaan jatuh cinta dalam diam ini menjadi kenangan untuknya.
Akan Dian simpan dalam relung hati terdalam, sampai tak ada yang mengetahui kalau lelaki telah berhasil mencuri hati Dian dan tak pernah mengembalikan nya.Lelaki yang bernama Aldo Putra, pria manis yang memiliki segudang prestasi dan keahlian.
Dian menatap kerumunan lalu merasakan keheningan, seakan dia telah tiada karena tak mampu mendengar kebisingan selain debar jantung sendiri.
Melupakan apa yang baru saja terjadi, Dian memilih pergi dan menghilang untuk selama nya dari peredaran orang-orang itu. Ia tak memiliki teman dekat yang akan mengajaknya berfoto, tawaran makan bersama atau bahkan ucapan selamat.
Dian memang tidak seberharga itu, dia hanya ada namun tak terlihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day I Left
General FictionCerita ini hanya karangan tak pasti, tiada akhir yang bahagia untuk kisah yang tragis.