Tiga hari berlalu, Aldo memenuhi permintaan Dian untuk tidak menemuinya lagi. Selama itu juga ia banyak memikirkan masalah yang ada, mulai dari pekerjaan, percintaan yang rumit serta orangtua nya.
Masalah baru datang ketika Aldo duduk makan bersama keluarga nya, permintaan sang ibu yang mau dirinya dan Yeri kembali menjalin hubungan. Melihat betapa baiknya sikap Yeri dan mampu mengimbangi setiap anggota keluarga mereka, ibu Aldo mengutarakan pendapatnya soal menikahi sang mantan.
Aldo tidak berani memberikan jawaban atas permintaan itu, dia juga sedang dilanda kebingungan bagaimana memberitahu orangtuanya soal Dian. Gadis pilihan nya sendiri, walau tak pernah ada kesepakatan bersama Aldo mengenal Yeri lebih dari siapapun.Wanita itu mungkin masih mencintainya, Aldo tahu. Tapi untuk mereka bersama tentu saja Yeri tidak akan mau, Yeri bukan perempuan mudah. Dia memiliki prinsip dan hal itu juga membuat Aldo menyukainya, dia akan tetap pada pendirian awal tak akan goyah. Begitu pula dirinya, setelah hubungan mereka berakhir Aldo telah menetapkan Dian sebagai pujaan hati.
Saat ini kepalanya terasa mau meledak karena menerima pesan beruntun dari rekan sekantor, membahas pekerjaan yang mulai menuntut tanggung jawab Aldo. Meski waktu liburnya masih beberapa hari lagi, akan tetapi itu akan segera berakhir. Dan selama Aldo meninggalkan pekerjaan, ia menutup segala komunikasi terhadap orang-orang disana. Itulah mengapa sekarang ia harus membuka satu persatu pesan masuk, mulai membacanya kemudian membalas sesuai topik.
Lelaki itu mengenakan kacamata, tampak gagah meski rambutnya berantakan, bagian tubuh atasnya tak memakai baju menampilkan otot-otot sempurna yang dibentuk dengan sengaja.Aldo sesempurna itu dalam merawat tubuh, tak heran jika banyak gadis-gadis diluar sana terpikat olehnya. Hanya Dian yang berani menolak dirinya padahal sudah jelas mereka saling menginginkan. Aldo meraih gelas berisi kopi susu lalu meneguknya perlahan, tanpa melepaskan pandangan fokusnya kearah layar laptop. Lelaki itu berpikir keras memecahkan masalah yang terpampang jelas dilayar, diselingi bayangan wajah Dian yang terus mengganggu.
Berulang kali menghela nafas kesal karena tak kunjung menemukan solusi, Aldo menutup laptopnya kemudian melepas kacamata. Melempar benda itu dengan sengaja tanpa takut retak, Aldo tidak bisa membagi pikiran nya dengan masalah-masalah yang bertumpuk. Dia harus menyelesaikan satu-satu, dimulai dengan menceritakan kepada orangtua nya lebih dulu soal Dian, lalu meminta pendapat mereka soal gadis itu, jika diizinkan maka Aldo juga akan mengutarakan niatnya menikahi Dian. Tidak peduli akan penolakan wanita itu, Aldo akan membawanya pergi dari negara ini sejauh mungkin agar Dian tak lagi mengingat masa lalu.
Tapi bagaimana cara nya dia memulai percakapan itu nanti, melihat wajah ibunya yang penuh harap soal Yeri saja sudah menggetarkan keyakinan Aldo.
Pria itu semakin terlarut dalam lamunan tanpa menyadari bahwa ayah nya baru saja masuk kedalam ruangan khusus kerja mereka, duduk di sofa sembari memandangi putra sulung nya yang masih tak bergeming.
"Mas. ." Panggil pria tua itu lembut, ia sudah lama ingin bertanya kepada Aldo soal pekerjaan apa yang anaknya itu lakukan selama disini hingga tak memiliki waktu untuk sekedar mengobrol, dan malam ini ia harus mendengar semua isi kepala Aldo. Anak itu terlihat sangat tertekan, dia mengenal Aldo seumur hidupnya.
Aldo menoleh tepat kearah ayahnya, pria itu masih berkharisma meski sudah lebih separuh abad. Garis ketampanan nya tidak luntur termakan usia, Aldo mengambil gen sempurna antara ibu dan ayahnya. Perpaduan yang jarang sekali didapat oleh anak lelaki dari ayah mereka.
"Iya pah?
Mas gak sadar kapan papa masuk, ada apa pa?"
Ayah Aldo tersenyum penuh kasih sayang, anak yang dulu sering mengganggu nya kini sudah dewasa. Waktu berjalan sangat cepat, rasanya baru kemarin dia menimang Aldo bayi.
"Papa kenapa belum tidur, sudah malam begini."
"Harusnya papa yang nanya, kenapa kamu begadang terus selama dirumah? Kamu selalu pulang dini hari, gak punya waktu dirumah buat ngobrol padahal cuti kamu berbulan-bulan. Sekarang sudah mau balik, dan kita baru bisa bicara berdua. Mas ada masalah?"
Butuh beberapa menit untuk Aldo bisa menjawab pertanyaan ayahnya, mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk bercerita. Aldo sudah memendamnya terlalu lama, kalau dulu ada Roni yang mendengar semua kegalauan nya, maka sekarang sahabatnya itu sibuk dengan pekerjaan. Aldo tak mau membebani Roni seperti dulu, meski lelaki itu tak masalah.
"Mas bingung harus mulai dari mana ceritanya, yang jelas masalah ini tidak sepele pa."
"Apa masalah nya? Papa selalu ingin mendengar mas cerita, berharap mas bisa membagi masalah yang sedang dihadapi supaya bisa kita cari solusinya sama-sama. Papa mencoba memahami anak-anak agar jangan ada kesalah pahaman."
Aldo beranjak dari kursinya, mendekati sang ayah untuk duduk bersebelahan. Mereka kembali terdiam, Aldo bahkan masih berpikir apakah sekarang saat nya?
Rasanya sangat berat membuka cerita tapi ia harus mengatakan semua agar tahu, apakah rencana nya berhasil atau tidak.
"Sebenarnya, mas sudah punya pilihan sendiri soal istri pa."
Hanya itu yang bisa Aldo katakan setelah lama terdiam, berat sekali lidah berucap. Ayahnya yang serius memandangi wajah Aldo, menunggu putranya menyelesaikan bicara.
"Tapi dia tidak seperti gadis lain, atau pun Yeri. Dia lebih special dibandingkan gadis mana pun yang pernah mas temui. .
Dia berbeda pa."
Aldo ragu ia sanggup melanjutkan cerita, namun saat menatap kedua mata ayahnya cerita pun mengalir begitu saja. Seperti air yang deras mengalir tanpa henti, Aldo bahkan tidak segan meneteskan airmata saat menyebut nama Dian, matanya memancarkan rasa cinta yang sangat besar.
Betapa sempurna nya Dian dimata pria itu, Aldo tak melewatkan sedikit pun rahasia hidup Dian. Dia tak tahu apakah ini pantas didengar atau tidak, yang jelas ia tak mau orangtua nya salah paham dikemudian hari. Lelaki itu menjelaskan sedetail mungkin tentang masalah mereka, isi hatinya dan keinginan nya.Sampai diakhir cerita, dia tak memalingkan mata dari wajah ayahnya. Mengadu seperti anak kecil yang tak bisa mendapatkan mainan, Aldo benar-benar serius dengan ucapan nya tak pernah seperti ini sebelumnya.
Reaksi yang berikan oleh ayah Aldo pun tak mengecewakan, pria itu tersenyum memeluk putra kesayangan nya.
"Papa tidak tahu gadis seperti apa dia, tapi melihat bagaimana mas menceritakan nya, papa yakin dia wanita baik."
"Takdir dan jalan hidup orang lain kita tidak berhak mengomentarinya, apapun yang dia lakukan sudah jelas penyebab nya. Andai dia memang yang terbaik untuk mas, papa tidak punya alasan menolak dia sebagai menantu."
"Tapi bagaimana dengan mama?"
Ayah Aldo hanya tersenyum, mengusap punggung lelaki itu penuh kasih.
"Mas sudah mengenal mama sejak dalam kandungan, kenapa masih bertanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day I Left
Fiction généraleCerita ini hanya karangan tak pasti, tiada akhir yang bahagia untuk kisah yang tragis.