Usai makan malam bersama dengan Dian seadanya, Aldo menerima terlpon dari perusahaan nya dan memberitahu kalau permintaan izin pindah kerjanya ditolak.
Bukan perkara mudah untuk Aldo menerima kenyataan itu apalagi sekarang dia sudah bisa mengobrol normal dengan Dian, waktu cutinya juga akan berakhir dua minggu dari sekarang. Pilihan ada ditangan nya tapi apakah ia bisa secepat ini, apalagi kasus yang menimpa Dian bukan masalah ringan. Aldo seketika merasa buntu dengan pikiran nya sendiri, setelah semua yang dia lakukan tidak mungkin berakhir seperti ini.Ia juga tidak mungkin melakukan keinginan nya tanpa persetujuan orangtua, apalagi menikah bukan hal sepele dan itu ibadah seumur hidup. Aldo menutup sambungan telpon sembari menatap Dian yang kini sudah kembali normal, meski ada beberapa hal yang masih perlu diperiksa. Aldo memasukkan ponselnya kedalam saku celana, mendekati Dian dan membantunya membersihkan bekas makanan mereka. Tidak ada yang memulai percakapan, suasana sunyi didalam ruangan itu membuat Aldo semakin banyak berpikir.
Bukan hal mudah untuk nya, tapi ia harus segera mengambil keputusan sebelum semuanya semakin tidak terkendali. Aldo membutuhkan pencerahan tapi apa yang bisa ia dapatkan dari sebuah pencerahan jika kepalanya saja sudah dipenuhi tentang Dian. Aldo duduk ditepi ranjang tempat tidur Dian, terus memerhatikan gerak-gerik wanita itu yang sedang menyisir rambut. Membayangkan bagaimana ia akan meninggalkan Dian lagi, perusahaan nya memang memiliki cabang di Indonesia tapi tak semudah perkiraan Aldo untuk pindah kesini. Walau ia memenuhi kriteria tetap saja Aldo punya banyak saingan. Harapan nya semua tidak terpenuhi sesuai bayangan nya, bohong jika Aldo tidak kecewa. Hidup terus berjalan dan ia tak bisa melawan arus waktu yang telah menentukan jalannya sendiri.
"Kamu tahu, aku kembali kesini hanya untuk mencarimu. Tapi sekarang waktuku telah habis, Di."
Dian menghentikan gerakan tangan nya yang menyisir rambut, tidak berani menoleh kearah Aldo. Hanya telinga nya berfokus mendengarkan laki-laki itu bicara.
"Aku kira mencari dan menemuimu tidak akan sesulit ini, tapi aku salah. Sejak awal aku sudah salah karena berharap semua akan mudah, apa yang terjadi pada mu sungguh diluar perkiraanku. Kesulitan yang kuhadapi saat mencari mu terbalaskan karena sekarang kita sedang berhadapan, aku pikir ini akan cukup untuk melegakan hatiku tapi ya, aku salah lagi."
Dian melanjutkan gerakan nya, menatap cermin yang memantulkan dirinya juga Aldo yang duduk diranjang. Wanita itu menatap lurus kearah Aldo, tak secara langsung namun memberikan efek yang luar biasa pada hatinya.
"Semua tentang mu tidak akan pernah cukup untukku, sampai aku bisa memiliki mu seutuhnya. Aku. . . Hanya ingin bersama mu, apapun yang terjadi tidak menghentikan keinginanku."
"Apa kita bisa bersama, selamanya, Dian?"
Aldo yang kini menatap pantulan mereka berdua dikaca, ia menatap lurus kearah mata Dian yang menunjukkan keinginan yang sama tapi masih ada keraguan besar didalamnya. Mereka tidak mempunyai hubungan apapun sebelum ini, pertemuan yang tidak diduga sebelumnya seolah menjelaskan kalau mereka tak seharusnya memaksa untuk saling memiliki. Aldo tidak mau memahami itu semua, karena dia pria egois yang akan terus memanjatkan doa untuk bersama Dian.
Perempuan bermata sendu itu tidak lagi memegang sisir, ia menaruhnya diatas meja. Tubuhnya ingin sekali berbalik melihat Aldo, tapi sesuatu terus menghalangi nya.
"Jika sejak awal sudah salah, kenapa masih memaksa untuk bersamaku? Kamu sendiri yang bilang kalau kita sudah salah, aku tidak punya apapun yang bisa kamu ambil. Hatiku sudah hancur, jiwaku sudah lama mati, perasaanku dan pikiranku. Semua nya telah rusak, apa yang bisa kamu lakukan dengan semua itu?"
Aldo menatap semakin dalam kemata Dian, mereka sama-sama tahu bahwa kemungkinan kecil itu tak akan bisa terjadi.
"Kembalilah ke dunia mu, kamu masih punya harapan untuk menemukan orang lain. Kamu tidak akan bisa melupakan ku, atau menggantikanku dengan orang lain, tapi cobalah untuk mencari perbandingan yang lebih baik. Kamu pantas menemukan orang yang bisa membalas perjuangan mu."
"Kenapa?" Aldo bertanya kepada Dian yang kini telah berpaling darinya.
"Karena aku sudah kehilangan semuanya, dan sulit untukku membangun puing-puing hati yang telah hancur. Mencintai seseorang memerlukan hati, dan aku sudah tidak memilikinya."
Aldo bangun dari tempatnya mendekati Dian, membalikkan tubuh perempuan itu agar melihat kearahnya.
"Bohong!" Ucap Aldo sinis ketika melihat jauh kedalam mata Dian.
"Aku melihat cinta yang begitu besar didalam sana, kamu sedang membohongi siapa? Aku atau dirimu sendiri?"
"Kalau memang kamu tidak memiliki hati lagi untuk mencintaiku, maka cukup dengan menjaga hatiku saja. Aku memberikan semua yang kumiliki padamu. .
Termasuk hatiku sendiri."
Aldo meremas cukup kuat bahu Dian, meski tak menimbulkan rasa sakit tetap saja hal itu membuat Dian meringis menahan nya. Tidak terima dengan semua penolakan gadis itu.
"Menjaga diriku saja tidak bisa, bagaimana aku akan menjaga hatimu? Aku tidak bisa."
Dian melepaskan pegangan Aldo pada bahunya, menjauh dari lelaki itu dan berbaring.
"Pergilah, aku tahu waktu kamu tinggal disini sudah tidak lama lagi. Habiskan waktu libur mu untuk hal-hal berguna, jangan datang kepadaku meski kamu sangat ingin melakukan nya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day I Left
General FictionCerita ini hanya karangan tak pasti, tiada akhir yang bahagia untuk kisah yang tragis.