Aldo masih setia memeluk tubuh Dian yang mulai tenang, ketegangan yang tadi begitu terasa kini memudar seiring berjalan nya waktu.
Pria itu menggenggam tangan Dian begitu erat, seolah tak akan pernah melepaskan nya. Suasana hening menyelimuti mereka, Eri yang setia menatap kedua orang itu masih tak mampu mengeluarkan suara.Meski ingin sekali bertanya, ia mengurungkan niat itu. Saat ini ada kondisi yang harus ia stabilkan, Eri meminta suster agar menyiapkan suntikan obat tidur untuk Dian.
Perempuan itu tidak pernah berhenti mengamuk bila tak ditenangkan, kinerja obat seakan tak bisa menandingi rasa sakitnya. Eri mendekati Aldo dan Dian yang kini terdiam ditempat mereka, lalu dengan pelan ia menyuntikkan obat tersebut. Aldo menatap sedih goresan yang terpahat sempurna disepanjang tangan gadisnya, apakah sepedih itu menjadi seorang Dian. Kenapa ia melukai diri sendiri, apakah tidak bisa ia melampiaskan sakitnya kepada hal lain selain menyakiti diri.
Aldo memeluk Dian semakin erat, menangis dalam diam mencoba menenangkan hatinya yang berkecamuk.
Apakah masih bisa disembuhkan? Pertanyaan itu ingin sekali dia lontarkan kepada Eri, tapi tidak tega dengan keadaan Dian yang menyedihkan.
"Mas Aldo bisa bawa dia ke ranjang, kayak nya udah baikan. Obat tidur cuma bertahan beberapa jam saja, jadi sebisa mungkin dia harus ditidurkan."
Aldo tidak berkomentar, namun ia mengangkat pelan tubuh ringan Dian menuju tempat tidur yang telah dibersihkan. Rasanya mustahil dia bisa meninggalkan perempuan ini sendirian, apalagi dia telah melihat sendiri bagaimana histeris nya Dian tadi.
"Apa dia selalu seperti ini?"
Aldo menarik baju Dian yang terangkat, lalu menutupinya dengan selimut. Suster memasang borgol, lagi hati Aldo seperti diremas. Seburuk itukah kondisi nya?
"Bisa dibilang begitu, kondisi nya memburuk dari hari ke hari. Dulu dia tidak seperti ini, tapi setelah membunuh ayahhya sendiri. Kesehatan mental nya semakin tidak tertolong."
"Tapi yang kudengar, ayah nya masih hidup."
Eri menatap kearah Aldo, sepertinya lelaki itu tahu banyak hal soal Dian.
"Tidak mas, ayahnya tidak selamat. Kehabisan darah, tikaman itu mengenai jantung nya. Dia tidak tertolong, aku yang berhadapan langsung dengan mayatnya."
Aldo kehabisan kata untuk sekedar melanjutkan pembicaraan mereka, menatap nanar wajah Dian yang jauh lebih kurus.
"Dian tidak ditahan karena kesehatan mentalnya tidak baik, maka dari itu aku merawatnya disini. Aku yang mengajukan diri sebagai dokternya, jauh sebelum kondisinya memburuk kami sudah saling mengenal. Dia adalah pasienku, dia yang paling baik dan yang paling lemah."
"Mas sendiri, bagaimana bisa mengenal dia? Kalian kelihatan sangat dekat, terbukti dari pelukan mas Aldo yang bikin Dian tenang."
Lelaki itu menggelengkan kepala.
"Kami tidak akrab, aneh memang tapi ini pertama kalinya kami bertemu setelah sekian lama. Mas mencintainya, jauh sebelum mas tahu bahwa dia mengalami hidup yang sulit."
"Tadinya mas berharap kalau dia akan menjalani kehidupan yang baik, tapi sepertinya doa itu tidak terkabulkan. Karena dia berada disini."
Erianna melirik wajah Aldo yang kecewa, gadis itu lagi-lagi menggigit bibirnya menahan rasa sakit dalam dada.
Mendengar langsung orang yang kita cintai memilih perempuan lain sangatlah sakit, tapi Eri tidak berhak mengatakan apapun selain menerima kenyataan.
"Mas sangat ingin merawat dia, apapun caranya. Mas akan membantu segala kebutuhan yang dia perlukan, bila perlu mas akan berada disini selama mungkin. Kamu bisa kan bantu mas?"
Eri tidak tahu apakah ini baik untuk dirinya, tapi kesembuhan Dian adalah tujuan utama sebelum mengetahui tentang kebenaran Aldo yang mencintainya.
"Aku akan lakukan yang terbaik, dan membiarkan mas membentu merawat Dian. Apapun itu, tujuanku adalah menyembuhkan."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Day I Left
General FictionCerita ini hanya karangan tak pasti, tiada akhir yang bahagia untuk kisah yang tragis.