Bu Dewi dan Mona yang Sudah Tahu Semuanya

555 27 0
                                    

Dengan berurai air mata, gadis itu hanya terus berjalan. Ia berjalan cepat tanpa peduli suara orang-orang yang memanggilnya. Beberapa pasang mata menatapnya heran dan bertanya-tanya mengapa dirinya bisa muncul dari arah rumah Arman. Begitu sudah keluar dari gerbang rumah istana itu, ia memutuskan untuk berjalan kaki saja menuju panti asuhan.

Sepanjang perjalanan, ia terus terngiang-ngiang ucapan pria tadi. Ucapan yang membuatnya trauma dan rasanya ingin menghilang saja. Ia masih tak percaya apa yang didengarnya barusan. Sepanjang jalan ia terus menangis. Setelah 15 tahun menanti kabar, ternyata begini akhirnya?

Tak terasa, ia sudah tiba saja di depan pagar panti asuhan. Pas sekali Bu Dewi ada di depan sedang bersih-bersih. Bu Dewi langsung menoleh ke arah pagar dan langsung iba melihat Anjani yang sedang menangis sesenggukan. Entah dari wajah wanita paruh baya itu, sepertinya sudah tahu apa yang habis terjadi, karena ia sama sekali tak panik dan bertanya-tanya.

Buru-buru Bu Dewi menghampiri pagar dan langsung membukakannya. Begitu pagar terbuka, Anjani langsung menghambur ke pelukan Ibu panti tersebut dan menangis sejadi-jadinya. Ibu panti tersebut hanya mengelus punggung Anjani lembut dan membiarkannya terus menangis.

Setelah beberapa lama, Bu Dewi mengajak Anjani untuk masuk dan duduk di teras rumah. Anjani langsung menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Ia menceritakan semua perkataan Arman kepada dirinya dan tak ada yang dikurang-kurangi.

Begitu Anjani selesai bercerita, Bu Dewi menghela napas panjang, kemudian menceritakan semua kebenarannya.

"Ada yang harus Ibu kasih tahu ke kamu, An." Ujarnya dengan suara parau.

Anjani menatap Bu Dewi dengan penuh tanda tanya.

"Jadi sebenarnya ... sebelum Ibu mengurusi kalian ... ibu sama almarhum bapak ini merupakan pelayan di rumah Bu Lidya."

"Hah?" Anjani terperanjat.

"Ibu kerja lama sekali di sana. Sampai Ibu mendapat kabar, kalau anak kedua Bu Lidya, Pak Affandi yang saat itu masih 17 tahun, menghamili seorang perempuan ... ya Bu Mauren itu. Nak Arman yang ada di dalam perut itu."

Anjani masih mencoba mencerna semua ini. Pantas saja orang tua Arman tampak masih muda.

"Orang tua Bu Mauren 'kan juga dari keluarga terpandang. Untuk menutupi kehamilannya dari orang-orang luar, Bu Mauren akhirnya keluar dari sekolah dan Bu Lidya yang bertanggung jawab dengan memberi tempat tinggal sampai Arman lahir."

Bu Dewi jeda sejenak.

"Begitu Arman lahir ... baik Bu Mauren maupun Pak Affandi, nggak ada yang mau mengurus bayi itu karena mereka masih muda dan masih banyak mimpi yang harus mereka kejar. Bu Mauren juga harus lanjut sekolah lagi. Bu Lidya dan juga kedua orang tua Bu Mauren, juga nggak mungkin merawat bayi karena nggak mau siapapun tahu kalau anaknya hamil di luar nikah. Mau berpura-pura jadi anaknya Bu Susanti juga nggak mungkin, karena beliau saat itu sudah bercerai."

Bu Dewi melanjutkan lagi.

"Bu Mauren dan Pak Affandi saat itu tak peduli Arman mau dibawa kemana, asalkan mereka tak harus melihat dan mengurusnya."

Bu Dewi jeda lagi.

"Akhirnya ... Bu Lidya diam-diam membeli rumah ini. Saya dan almarhum bapak diminta untuk membawa Arman ke sini dan jaga Nak Arman sampai orang tuanya mau menjemput. Nah, supaya tetangga nggak curiga atau tanya macam-macam, akhirnya didirikanlah panti asuhan ini."

Anjani langsung menggeleng-gelengkan kepala tak percaya.

"Pak Affandi, Bu Mauren atau siapapun, tak pernah ada yang tahu keberadaan Arman. Hanya Bu Lidya, saya dan almarhum Bapak panti saja yang tahu. Saya dan Bapak diminta untuk menjaga rahasia ini dari siapapun termasuk Nak Arman sendiri. Hampir tiap hari, Bu Lidya rutin menanyakan kondisi cucunya. Bahkan sering juga diam-diam melihat dari jauh dan kasih kado setiap Arman ulang tahun."

NeglectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang