Anjani Terus Melanjutkan Hidup

93 8 1
                                    

"Prof. Slamet." Sapa Anjani sambil tersenyum lebar begitu baru memasuki ruangan dosennya tersebut.

Pria paruh baya tersebut langsung bangkit dari kursinya untuk menyambut Anjani. "Anjani, ayo masuk-masuk. Apa kabar?"

Anjani pun buru-buru masuk dan menyalami dosennya tersebut. "Kabar baik, Prof. Prof sendiri gimana kabarnya?"

"Yah, begini-begini saja masih ngajar mahasiswa." Kelakarnya.

Mereka pun tertawa bersama.

"Mari-mari silakan duduk." Prof. Slamet pun mempersilakan Anjani duduk di sofa ruang kerjanya.

Anjani pun langsung duduk dan Prof. Slamet duduk di hadapannya.

"Jadi, saya itu sebenarnya penasaran, kamu kenapa butuh kontrakan juga?" Prof. Slamet membuka percakapan. "Area ini 'kan padahal punya keluarga kamu. Memangnya ga bisa minta satu unit untuk kamu tinggali?"

Anjani terdiam sejenak sambil menunduk.

"Saya ... kemungkinan akan diceraikan oleh suami saya, Prof." Anjani memilih jujur karena ia tahu dosennya itu sudah berpikir aneh saat dirinya tiba-tiba mau bekerja menjadi asdos sekaligus mencari kontrakan.

Terdengar suara helaan napas dari dosennya tersebut. Wajahnya tampak ikut sedih menunjukkan empati. Ia kemudian mengangguk.

"Lalu ... kenapa kamu memilih karir menjadi dosen?" Tanyanya penasaran lagi. "Dengan pengalaman dan level yang kamu punya, kamu bisa apply sebagai CEO di perusahaan swasta."

Anjani tersenyum. "Sebenarnya ... jadi dosen itu impian saya sejak kecil, Prof. Saya kubur mimpi itu, karena waktu itu saya harus langsung bekerja begitu lulus S1. Sekarang saya sudah tidak ada tanggungan untuk membiayai siapapun, dan tabungan juga aman. Saya mau melanjutkan cita-cita kedua orang tua saya yang ga kesampaian."

"Oh, begitu."

"Saya itu sebenarnya ... lebih suka terjun di dunia akademisi seperti ini, meneliti sesuatu, membuat jurnal dan diundang di berbagai forum sebagai pakar, seperti Prof. Slamet."

"Tapi ... penghasilan jadi dosen itu nggak sebesar gaji jadi CEO di perusahaan, Anjani. Gapapa?"

Anjani menggeleng sambil tersenyum. "Seperti yang saya bilang tadi, Prof, saya sekarang sudah tidak ada tanggungan dan tabungan juga masih aman. Bahkan bisa untuk melanjutkan sekolah lagi."

Prof. Slamet kemudian mengangguk.

"Kalau untuk kontrakan masih available, Anjani. Nanti kamu bisa langsung janjian saja dengan istri saya kapan mau lihat-lihat. Kebetulan kontrakan itu juga satu cluster dengan saya."

"Baik, Prof."

"Sama ... jujur saja Anjani, kebetulan untuk asdos saya mencari yang masih mahasiswa. Tapi kamu nggak usah khawatir, karena saya sudah rekomendasikan kamu dengan dosen lain yang kebetulan masih muda dan lebih produktif dari saya, dan sebentar lagi beliau akan ke sini menemui kamu."

"Oh begitu, Prof."

"Beliau itu dosen kamu dulu, lho. Kamu masih ingat Pak Thomas, nggak?"

Anjani mencoba mengingat-ingat. "Maaf, Prof saya agak lupa ... dulu beliau ngajar apa, ya?"

"Ah, masa kamu lupa." Prof. Slamet terkekeh. "Itu lho dosen Ekonomi Pembangunan, yang digilai para mahasiswi karena paling ganteng dan yang paling muda juga saat itu. Ya kalau sekarang sih ... masih tergolong muda juga lah, usianya baru awal 40-an. Nah, dia itu juga pindah ngajar di sini ngikutin saya."

Anjani kemudian teringat. "Oh ... iya ... iya. Padahal Mona dulu juga ikut-ikutan godain beliau, kok saya bisa lupa, ya? Dulu banyak yang ngejar-ngejar, padahal beliau udah punya istri."

NeglectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang