Arman dan Anjani yang Sudah Mulai Berbeda

158 4 0
                                    

"Sayang." Anjani pun memasuki ruangan suaminya sambil membawakan kotak makanan. "Nih, aku beliin makanan. Aku pesankan salmon, salad dan mashed potato. Kata Fajar kamu belum makan siang, ya?"

Arman pun langsung mengangkat kepala dari laptopnya dan tersenyum lebar. "Wah, makasih ya sayang. Iya nih, aku dari tadi banyak telepon masuk nggak berhenti-berhenti soalnya. Kamu udah selesai meetingnya?"

Anjani meletakkan makanan tersebut di atas meja kerja suaminya kemudian mengangguk. "Udah, baru aja tamunya pulang."

"Yang orang Bank itu, 'kan?"

Anjani mengangguk lagi. "Iya, sama sebenarnya aku ke sini juga mau kasih masukan soal pembangunan apartemen."

Arman mengernyitkan dahi. "Apartemen mana? Emang kita ada rencana bangun apartemen lagi dalam waktu dekat selain di Paradisa City Bogor?"

Anjani menggeleng. "Bukan. Maksudnya aku mau kasih saran, supaya kita membangun apartemen bersubsidi buat orang yang kurang mampu."

Wajah Arman pun seketika berubah.

"Aku pikir di Cijago aja." Anjani terus menyerocos dengan mata berbinar-binar. "Di sana strategis banget, dekat dengan stasiun LRT. Nah, target pasar kita itu kelas pekerja. Pasti bakal laku itu."

"Tapi kita 'kan perusahaan yang mengutamakan profit." Ujar Arman yang tampak keberatan.

"Nah, maksud aku bahasa marketingnya subsidi, tapi kita tetap untung, karena kalau kita tidak pakai bahasa itu, tau sendiri kan kompetitor akan bertindak apa? Jadi tadi Clara sempat kasih tau aku katanya punya supplier yang menjual dengan harga murah dengan kualitas yang sama seperti langganan kita. Nah, dengan menggunakan supplier itu kita jadi bisa jual di harga murah."

Anjani langsung mengambil kertas putih kosong di meja suaminya dan juga pulpen, kemudian menuliskan sesuatu sambil menjelaskan.

"Jadi dengan harga tanah segini dan harga bahan material segini, berarti estimasi biaya produksi ditambah biaya lain-lain hanya segini. Nah, kita bisa jual diharga segini saja per unit untuk ukuran studio."

Arman mengernyitkan dahi. "Dikit amat kita ambil profit. Nggak bisa lah, Sayang, kita 'kan juga harus mikirin biaya karyawan yang ada di sana."

Anjani kemudian tersenyum lebar seperti ada maunya kemudian duduk di seberang suaminya setelah sejak tadi terus berdiri. "Sebenarnya ... ini lebih ke program amal sih, Sayang, atau CSR, untuk menyasar karyawan yang belum ada budget memiliki tempat tinggal sendiri. Harga ini menyesuaikan dengan penghasilan mereka. Kebetulan aku tadi sekalian bicara sama orang bank soal ini. Katanya bisa bantu."

"Terus untungnya buat kita apa?" Wajah Arman tampak bad mood. "Kalau kita juga memperhitungkan gaji karyawan, meskipun mau pakai sistem kontrak selamanya juga kita malah rugi, cuma capeknya aja."

"Ya makanya, kan tadi aku bilang ini program amal. Banyak yang mau punya tempat tinggal tapi ga bisa kebeli. Aku ngerasain banget dulu."

"Ga bisa, Anjani!" Tegas Arman. "Kita ini bukan perusahaan non profit! Bukan badan amal! Tim marketing kalau mau CSR aja ada hitung-hitungannya dulu kok. Nggak asal kayak gitu aja."

"Eh, bentar-bentar, Mas." Anjani kemudian teringat sesuatu. "Tadi kalau aku nggak salah dengar, Mas mau memberlakukan sistem karyawan kontrak permanen?"

Arman mengangguk. "Untuk proyek berikutnya, termasuk Paradisa City Bogor, iya kita mau memberlakukan sistem karyawan kontrak saja."

Anjani pun terbelalak. "Lho kenapa, Mas? Kasian lo mereka, nggak ada kenaikan gaji, bonus, jenjang karir apalagi pensiun."

"Justru itu yang bisa bikin untung kita semakin banyak." Arman tampak bersemangat. "Apalagi pakai supplier dari kenalan Clara. Wah, kamu bayangin aja nanti dividen yang kita berdua dapetin. Nanti kita bisa jalan-jalan sama Dara keliling dunia."

Anjani tak percaya apa yang didengarnya barusan. Terdengar jahat demi keuntungannya sendiri. Padahal yang mereka miliki saat ini lebih dari cukup. Mereka pun tetap bisa keliling dunia tanpa harus menzalimi orang lain.

Baru saja Anjani hendak protes, tiba-tiba saja Irene asistennya mengetuk pintu dan masuk. "Permisi, Bu Anjani, maaf bisa saya bicara sebentar?"

"Oh, oke." Anjani menoleh kembali kepada suaminya. "Dimakan sekarang ya, Mas, mumpung masih hangat." Ia pun kemudian berjalan keluar.

***********

"Bu Anjani, ini saya dimintai tolong sama Pak Burhan buat mendampingi beliau meeting," ujar Irene, "katanya asisten beliau lagi sakit. Meeting di rumah, sih. Fajar juga katanya lagi sibuk, makanya saya yang dipanggil. Katanya Pak Burhan udah chat Ibu, tapi belum dibalas-balas."

"Oya?" Anjani kemudian mengecek ponselnya sendiri dan ternyata memang benar kakak sepupunya itu meminta tolong kepadanya, "ya udah, kalau di rumah kamu bareng aja sama saya. Saya juga mau pulang."

"Baik, Bu. Oiya, Ibu udah tahu Pak Burhan mau meeting sama siapa?"

Anjani menggeleng. "Nggak. Emang sama siapa?"

"Sama Mona, Bu." Ekspresi asistennya itu begitu datar.

Anjani langsung terbelalak. "Oh ... meeting-nya di rumah banget?" Anjani sampai tak percaya.

"Iya, Bu, di rumah Pak Burhan."

Anjani tampak berpikir sebentar. "Oh, ya udah ayo siap-siap."

"Baik, Bu."

Irene pun langsung berjalan menuju mejanya untuk merapikan barang-barangnya. Anjani pun berjalan ke ruangan suaminya untuk berpamitan.

"Sayang." Panggilnya begitu memasuki ruangan suaminya. "Aku pulang duluan, ya."

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore dan biasanya memang Anjani yang pulang lebih dulu dibanding Arman agar wanita itu bisa mengurus putrinya meski sebentar.

"Oh, oke hati-hati. Aku biasa ya dari sini jam 7."

"Oh iya ... ngomong-ngomong Mas Arman tau nggak, kalau Mas Burhan itu mau meeting sama Mona?" Tanya Anjani to the point.

Arman tampak berpikir sejenak kemudian menggeleng. "Nggak, sih. Tapi ngapain Burhan meeting sama Mona?"

Anjani hanya mengangkat bahu. "Nggak tau, Mas."

NeglectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang