Sikap Arman yang Dingin

878 48 0
                                    

Begitu acara perkenalan usai dan para karyawan sudah membubarkan diri, Anjani masih terdiam di tempatnya. Ia bangkit dari kursinya dan berdiri sejenak memandangi pria itu. Menunggu pria itu selesai berbicara dengan Bu Susanti dan juga Burhan. Ia kemudian mengeluarkan selembar foto dari dalam dompetnya. Foto tersebut sudah usang karena disimpan sejak 15 tahun lalu.

Setelah dilihatnya pria itu sudah selesai mengobrol, Anjani langsung jalan perlahan menghampirinya sambil menggenggam foto tadi. Jantungnya berdegup kencang. Entah apa yang harus dikatakannya nanti setelah 15 tahun tak bertemu. Apa pria itu masih mengenalnya?

Ia semakin dekat dengan pria itu dan kini sudah berdiri di sampingnya. Pria yang masih sibuk membereskan tas dan melihat beberapa berkas tersebut masih belum menyadari kehadirannya. Tak ada cincin pada jari manisnya, yang artinya pria itu belum menikah.

"Mas ... Arman." Panggil Anjani dengan suara bergetar.

Arman yang sedang memasukkan berkas ke dalam tas nya langsung menoleh kepadanya. Pria itu langsung tersentak seperti melihat hantu.

"Apa kabar, Mas?" Anjani tersenyum sambil matanya berkaca. "Ini Anjani, Mas ... Anjani." Gadis itu sambil menunjuk-nunjuk dirinya. "Masih ingat?"

Pria itu masih shock dan tak dapat berkata. Anjani begitu merindukan pria tersebut dan tak menyangka akhirnya bisa bertemu lagi. Apalagi bakal satu kantor. Gadis itu langsung menunjukkan foto yang sejak tadi digenggamnya.

"Ini foto kita." Ia menyodorkan foto tersebut. "Masih ingat?"

Anjani tak menyadari kalau rahang pria itu mengeras begitu melihat foto itu.

"Ini waktu aku ulang tahun yang ke-10." Lanjut Anjani. "Hari terakhir kita ketemu."

Mereka berdua tak sadar kalau Burhan memerhatikan sejak tadi. Karyawan lain sudah tak ada di area tersebut. Hanya tersisa beberapa OB yang sibuk bersih-bersih.

"Anjani yang di pan..."

"Maaf, kamu salah orang!" Potong Arman. Nadanya ketus dengan tatapannya yang tajam.

Anjani kaget tak percaya melihat reaksi pria itu. Tak terasa air matanya menetes.

"Dan inget ya ... panggil saya Pak Arman, bukan Mas! Apa kamu nggak denger kata Bu Susanti tadi?" Ketus pria itu lagi.

Sikapnya jauh sekali dari kata ramah. Berbeda sekali dengan saat perkenalan tadi.

"Kamu juga nggak dengar tadi Bu Susanti bilang saya siapa?" Pria itu lanjut memarahinya. "Saya ini sudah biasa digodain cewek-cewek, tapi berani-beraninya kamu ngaku pernah kenal saya!"

Anjani sampai tak dapat berkata-kata. Salah satu OB kini melihat kejadian tersebut karena nada Arman yang meninggi.

"Kembali kerja sana!" Perintah Arman.

**************

Anjani yang masih tak percaya dengan apa yang dialaminya barusan, enggan kembali ke mejanya. Mana mungkin ia tiba-tiba muncul dengan mata sembab. Ia memilih untuk bersembunyi di bilik toilet terlebih dulu.

Ia duduk, menghela napas panjang dan menenangkan diri. Ia yakin betul tak salah orang. Tak banyak berubah dari pria itu baik dari wajah maupun suara, kecuali lebih dewasa.

Ia pun mencoba menghubungi Bu Dewi untuk bertanya. Hingga kini, ia masih rutin mengunjungi panti dan berkomunikasi dengan ibu panti tersebut. Namun teleponnya tak dijawab. Mungkin sedang sibuk.

Ah, mengapa dirinya tak menelepon Mona saja? Sahabatnya sejak masih di panti dulu. Hubungan mereka memang baru dekat setelah Arman pergi. Bahkan mereka kuliah di tempat yang sama dengan jurusan sama. Sayang tak bisa satu kantor. Mudah-mudahan saja sahabatnya yang terkenal bawel itu sedang tak sibuk di kantornya.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya sahabatnya itu menjawab teleponnya. "Ya, An, kenapa?" Ia terdengar sedang tertawa-tawa. Bukan Mona namanya kalau tak ceria. Meski yatim piatu tapi tampak tak punya beban.

"Mon." Anjani malah langsung menangis sesenggukan. Hanya dengan Mona ia bisa menceritakan apapun, menumpahkan segala kesedihan tanpa perlu menjaga image. Mona pun langsung mengernyitkan dahi mendengar suara isak tangis sahabatnya itu.

"An? Lo kenapa?" Tanya Mona khawatir. "Jangan bilang ada cowok jamet yang mau grepe-grepe lo lagi!"

Anjani menggeleng kencang meski Mona tak dapat melihat.

"Mas Arman." Ujar Anjani sambil terisak.

"Hah? Apa?" Mona tak dapat mendengar suaranya dengan jelas karena isak tangis tersebut.

"Akhirnya gue ketemu Mas Arman lagi, Mon."

Mona mencoba mencerna. "Arman ... Arman yang itu? Serius? Gimana ceritanya? Dia akhirnya nelpon lo? Atau lewat Bu Dewi? Ya bagus, dong. Akhirnya yah, penantian lo selama 15 tahun ini nggak sia-sia. Dia bilang nggak, selama ini kemana aja? Kenapa ngilang nggak ada kabar?... eh, tunggu-tunggu ... terus kenapa lo nangis?"

Setelah Mona selesai menyerocos, Anjani menghela napas sejenak kemudian menceritakan semuanya. Mulai dari saat pria itu memperkenalkan diri di kantor tadi hingga dirinya memberanikan diri menyapanya, dan bagaimana reaksi pria itu kemudian.

"Hah serius?" Seru Mona kaget usai mendengar semua ceritanya. "Bentar-bentar!" Mona mencoba mencerna. "Kalau Arman itu ternyata keluarga owner kok lo bisa nggak tahu? At least lo tau kan muka orang tua Arman?"

"Ya mana gue tau. Selama ini kan yang selalu dimunculin cuma wajah Bu Lidya yang ternyata Omanya Mas Arman. Keluarga Bu Lidya yang gue tau juga cuma Bu Susanti dan Pak Burhan. Sisanya gue nggak tahu."

"Ya sudah, An, nanti kalau sempat kita janjian deh." Ujar Mona. "Menurut gue, lo kasih Arman ruang dulu. Jangan paksa dia buat ingat lo. Kerja aja dulu seperti biasa. Mungkin kalian emang harus mulai lagi dari awal. Tapi setidaknya kan sekarang kalian satu kantor. Pasti ada kesempatan lah untuk kalian akrab lagi kayak dulu."

"Oke, deh, thanks ya, Mon."

"Anytime, beb."

NeglectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang