Upaya Terakhir

156 10 0
                                    

"Ma, udah ya, jangan marah sama Arman lagi," ujar Burhan kepada Ibunya. Saat ini dirinya sedang terbaring di ranjang rumah sakit, "luka Burhan bisa sembuh, tapi Arman mungkin ga akan pernah sembuh."

Bu Susanti hanya terisak.

"Kok nangis sih, Ma," hibur Burhan, "Kan tadi dengar sendiri kata dokter, ini lukanya ga parah. Hanya butuh beberapa hari pemulihan di sini."

Ibunya menggeleng. "Mama cuma mikir, kenapa keluarga kita jadi kayak begini?"

"Semua salah Burhan, Ma. Gara-gara Burhan jatuh cinta sama Clara dan terhasut omongan dia." Ujar Burhan sambil menahan sakit, "satu-satunya cara, kita temui Anjani, bujuk dia dan minta maaf supaya dia mau kembali."

"Ya udah, 'Kan Anjani tinggal di Paradisa City ... besok Mama samperin sekalian ke kantor."

"Aku ikut juga, Mbak," celetuk Ibu Arman yang kebetulan juga ada di sana bersama Ayah Arman dan Oma Lidya. "Aku belum ngomong apa-apa sama menantuku sendiri."

"Sepertinya susah," ayah Arman pesimis, "lihat aja tuh Arman, udah main lagi sama PSK setelah tiga tahun. Anjani juga bukannya udah punya pacar baru?"

"Saya aja yang akan menemui dia besok sendirian." Ucap Oma Lidya lantang. "Saya yang paling bertanggung jawab soal ini."

Mereka pun terdiam sejenak kemudian setuju, kemudian membicarakan hal lain.

"Eh, ngomong-ngomong Clara sama Dwi Adiguna gimana kabarnya tuh?" Celetuk Ibu Arman tiba-tiba, "apa perusahaannya kita beli aja?"

Mereka pun tertawa.

"Perusahaan itu sementara dipegang oleh adiknya Dwi Adiguna." Sahut Oma Lidya. "Termasuk Mont Investment dan juga Mont Creative. Mereka berdua masih sembunyi entah di mana."

"Terus cityblock kita di Bogor dan saham kita di Mont Creative gimana, Ma?" Tanya Ibu Arman.

"Tetap berjalan seperti biasa. Pelan-pelan juga nama baik perusahaan-perusahaan itu juga akan pulih."

************

Anjani yang sedang memasak di dapur kontrakannya, mendengar suara bel berbunyi. Ia kaget melihat siapa yang datang dari layar monitor. Ia menghela napas panjang sambil mencuci tangannya, kemudian berjalan perlahan ke arah pintu dan membukanya. Mereka saling canggung sejenak, dan bingung kata-kata apa yang harus dikeluarkan.

"Hi, Anjani," sapa Oma Lidya, "ada yang mau saya bicarakan sama kamu sebelum Arman tanda tangani surat itu. Boleh saya masuk?"

Anjani pun membuka pintunya semakin lebar. "Silakan masuk, Oma."

Wanita usia senja tersebut memasuki rumah sambil berjalan mengamati seisi rumah. "Saya sampai sekarang kagum dengan produk-produk Febriant Land. Hasilnya ternyata sebagus ini ya. Luar biasa kerja kamu dan Arman kemarin."

Anjani hanya tersenyum. "Silakan duduk, Oma." Tunjuk Anjani ke sebuah sofa.

"Makasih."

"Oma sendirian?" Anjani langsung berinisiatif membuatkan teh kesukaan nenek mertuanya tersebut."

"Nggak, ada supir dan Irene nunggu di mobil." Sahutnya.

"Anjani lega, Irene akhirnya diangkat jadi asisten Oma. Itu impiannya sejak dulu."

Mereka pun tertawa renyah.

Usai membuat teh, ia membawanya ke ruang tamu dan meletakkannya di atas meja. "Silakan, Oma. Oh iya, Oma mau makan?"

Oma Lidya menggeleng cepat. "Nggak, saya udah makan tadi. Makasih, Anjani."

Anjani pun mengangguk kemudian ikut duduk di samping nenek mertuanya tersebut. "Ada apa, Oma?"

NeglectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang