Keputusan Oma Lidya

62 3 0
                                    

"Oma, jadi gimana? Mau jadi juri di Mont Investment Program, nggak?" Tanya Ben sambil terkekeh. "Seru lho nanti sama kita-kita."

"Iya, Oma." Timpal Bara. "Oma nggak perlu repot-repot cek ribuan berkas proposal seperti yang ditakutin. 'Kan Monita punya tim buat mengurus itu. Tugas kita cuma mendengarkan mereka presentasi, terus nilai deh."

"Ini lumayan banget lho, Oma, sekalian buat promosi cityblock." Ben terus memanas-manasi.

Keluarga Febriansyah beserta teman-teman Arman kini sedang berkumpul di taman kediaman mereka untuk barberque bersama. Anjani dan Atiqah sedang sibuk memanggang makanan seperti daging, sosis, dll. Putri dan Mila bantu meletakkan makanan di piring kemudian di meja. Para pria seperti Arman, Burhan dan Ethan tadi membantu menyalakan panggangan dan kini mereka hanya duduk-duduk sambil menunggu disuruh oleh para wanita.

Lalu Ben dan Bara yang masih asyik membujuk Oma agar mau menjadi juri pada Mont Investment Program. Kedua orang tua Arman dan Bu Astuti asyik mengobrol sendiri. Sedangkan Clara, sejak tadi hanya menyendiri, manyun sambil terus memainkan ponselnya.

"Itu si princess ngapain sih diam aja di sana?" Gerutu Atiqah sambil membolak-balikkan sosis. "Dikira dia doang yang anak konglo!"

Anjani hanya tersenyum dan fokus dengan apa yang dikerjakannya.

"Gue nih, gini-gini nggak dimanja sama bokap nyokap gue." Gerutu Atiqah lagi. "Gue tuh dari kecil dididik rajin belajar, kerja keras, sama nggak boleh sombong. Gue jalanin yayasan dari jaman masih gadis tuh biar bisa lebih menghargai orang lain."

Keluarga Atiqah memang memiliki yayasan khusus membantu orang tidak mampu untuk melanjutkan sekolah.

"Anak satu-satunya, sih," gerutu Atiqah, "jadi manja dan egois!"

Anjani lagi-lagi hanya menanggapi dengan senyuman. Ia takut salah bicara.

"Padahal nggak tiap hari juga disuruh masak." Gerutu Atiqah lagi.

"Eh, dagingnya kayaknya kurang nggak, sih?" Tanya Anjani. "Takut ga cukup."

"Oh, masih banyak kok." Sahut Atiqah. "Tadi gue titip di kulkas rumah lo."

Mereka memang membagi-bagi tugas dalam menyiapkan makanan.

"Man." Atiqah memanggil Arman.

Arman pun menoleh. "Yes, butuh bantuan apa lagi?"

"Daging yang ada di kulkas rumah lo, dong, tolong. Keluarin aja semua."

"Sip."

Arman pun beranjak dan diikuti oleh Ethan serta Burhan yang hendak ikut membantu. Atiqah masih mendelik kepada Clara yang asyik dengan dunianya sendiri. Oma Lidya juga melihat Clara yang sedang tidak melakukan apa-apa. Mumpung Burhan sedang tak ada, sebaiknya ia menghampiri cucu mantunya itu sekarang. Ia pun pamit dengan Bara dan Ben.

"Ben, Bara, nanti sebelum makan, Oma mau sekalian umumin keputusan Oma. Jadi tunggu aja, ya."

"Siap, Oma."

Ia pun bangkit dari kursinya dan menghampiri Clara. Ia langsung duduk begitu saja di sebelahnya.

"Eh, Oma." Clara langsung salah tingkah.

Oma Lidya hanya menatap kosong ke depan. "Kamu itu daripada bengong, mending bantu-bantu Anjani dong sana!"

Clara langsung mendesis. "Nggak mau ah, Oma. Pekerjaan memasak lebih cocok buat Anjani, bekas orang miskin." Clara langsung tertawa mencemooh.

Oma Lidya langsung menatap tajam cucu mantunya tersebut. "Kamu tau apa yang membuat seseorang itu menjadi miskin?"

"Ya ... karena terlahir miskin." Clara menjawab acuh tak acuh dan kembali memainkan ponselnya.

"Karena tidak bisa bekerja, tidak pernah merasakan sulitnya mencari uang, tidak paham nilai uang dan tidak merasakan perihnya mempertahankan perusahaan. Kayak kamu ini contohnya."

Clara pun terbelalak. "Kok aku, Oma?"

"Kamu ini sama kayak Ibumu yang taunya cuma ngabisin duit. Kalian membayangkan nggak, kalau Bapakmu itu tiba-tiba meninggal? Gimana perusahaan?"

"Lho, 'kan aku sekarang yang lebih aktif mengurus Adiguna Group, Oma."

"Sudah telat, Clara. Kamu itu harusnya mulai sejak dulu begitu lulus kuliah. Mengurus perusahaan itu mesti butuh waktu lama buat belajar. Nggak cukup satu atau dua hari. Begitu karyawanmu tau kamu bodoh, mereka akan menipu kamu dan bikin bangkrut perusahaan yang udah susah payah Papa kamu rintis."

Arman yang kebetulan baru kembali dari mengambil daging tak sengaja mendengar itu kemudian tertawa sendiri.

"Untung bukan gue yang nikah sama elu." Gumamnya kemudian langsung berjalan menghampiri istrinya dan juga Atiqah.

"Aku 'kan ada Burhan, Oma." Clara terkekeh. "Ya, kalau sampai itu terjadi, ya bisa minta bantuan Burhan lah buat awasin Adiguna Group."

Oma Lidya hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Dulu Oma pikir ... punya cucu mantu Anjani itu beban. Ternyata Oma salah, malahan kamu yang jauh lebih beban."

Clara hanya memajukan bibirnya. "Yah, Oma. Kalau terlahir miskin itu, memang harus tau diri, harus pintar dan mau kerja keras."

"Terlahir kaya juga sama saja, Clara!" Nada Oma Lidya sedikit meninggi. "Capek ngomong sama orang bebal kayak kamu."

Clara kini tak berani berkutik.

"Hmmm, wanginya enak." Puji Arman saat mendekati istrinya sambil menyerahkan daging.

"Thank you, Man." Ucap Atiqah sambil menerima daging-daging tersebut. "Ini Anjani yang ngeracik bumbunya, jadi makanya baunya enak."

"Nggak, lah. Ini bumbu standar aja kok." Anjani merendah.

"Wah, nggak sabar pengen cobain." Puji Arman.

Anjani hanya tertawa. Clara menatap tajam ke arah mereka berdua yang sedang bermesra-mesraan itu.

Sekitar 45 menit kemudian, semua masakan pun matang. Para Pembantu Rumah Tangga mengeluarkan beberapa hidangan lain yang mereka masak.

"Lastri, ini kenapa ada nasi goreng juga?" Tanya Arman bingung kepada pembantunya.

"Disuruh Ibu, Pak." Ibu yang ia maksud adalah Anjani.

Usai semua makanan sudah rapi dihidangkan di atas meja, Anjani pun langsung memberi tahu para orang tua.

"Oma, Papa, Mama, Tante, makanan sudah siap."

Mereka pun tampak sumringah.

"Wah, pas nih udah lapar banget." Kelakar Ayah Arman sambil bangkit dari kursinya.

Mereka semua tertawa bersama dan berbondong-bondong menuju meja makan. Oma Lidya langsung geleng-geleng kepala begitu melihat Clara yang duduk lebih dulu disaat yang lainnya menunggu orang tua.

Mereka semua menempati posisi masing-masing. Oma Lidya tentu saja di tengah-tengah antara bagian kiri dan kanan.

"Lisa nggak ikut?" Tanya Oma Lidya.

"Lisa ada kerja kelompok." Sahut Ibu Arman.

Anjani memilih duduk di paling ujung dan suaminya mengikutinya untuk duduk di sebelahnya. Clara duduk di seberangnya dan otomatis Burhan duduk di seberang Arman. Setelah semuanya duduk rapi, Oma Lidya pun hendak berbicara kepada mereka terlebih dulu sebelum makan.

"Sebelum kita mulai makan, Oma mau kasih informasi penting." Ujarnya menggelegar. Semua mata tertuju padanya. "Oma memutuskan ... untuk tidak mengambil tawaran Mont Investment sebagai juri."

Semuanya pun tampak mengangguk dan mengerti. Namun, Ben dan Bara pun bingung.

"Lho kenapa, Oma?" Tanya Bara penasaran.

"Iya, sayang banget lho, Oma. Nggak mau dipikir-pikir lagi?" Timpal Ben.

Oma Lidya terdiam sejenak sambil menghembuskan napas panjang. "Karena ... Oma udah tua." Jawabnya dengan nada bercanda.

"Ah, Oma. 'Kan bisa Tante Astuti, Om Affandi, Tante Mauren, atau cucu-cucu Oma." Timpal Bara. "Tuh, suruh si Arman aja!"

"Ogah, kerjaan banyak." Tolak Arman.

"Ya sudah, ayo kita mulai makan." Ujar Oma Lidya.

NeglectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang