Perjuangan Anjani

221 9 0
                                    

Anjani sudah beberapa hari ini bekerja di Febriant Land. Ia terus mengumpulkan data terkait Dwi Adiguna. Selain dengan Bu Susanti dan Fajar, ia juga berkoordinasi dengan divisi-divisi lain, seperti divisi teknik, produksi dan juga marketing.

Mejanya terletak persis depan ruangan Bu Susanti, dan Fajar duduk persis di seberangnya. Hanya mereka berdua dengan asisten pribadi Bu Susanti yang berada di area tersebut. Tidak berdekatan dengan divisi lain.

Kantornya satu gedung dengan Aftive sehingga selalu bisa janjian dengan Arman. Anjani kini sudah menemukan kelemahan dari Daintie Land, sehingga ia percaya diri bisa menemukan celah untuk masuk. Ia pun tersenyum lebar karena menemukan titik terang.

Semua data sudah terkumpul. Kini ia bingung bagaimana harus janjian dengan Dwi Adiguna. Yah, itu memang tugas Fajar untuk menghubungi asistennya. Namun ia harus menyiapkan strategi agar pemilik stasiun TV dan perusahaan investasi tersebut mau menemui pihak dari Febriant Land. Tentu kalau hanya sekadar menelepon dan meminta waktu bertemu, otomatis akan ditolak.

Apa sebaiknya ia email terlebih dulu saja slide presentasinya? Memberikan sedikit informasi mengenai kekurangan Daintie Land dan keuntungan yang akan Febriant Land tawarkan. Ia pun langsung menanyakan pendapat Fajar.

""Fajar!" Panggil Anjani.

Fajar yang sedang serius di depan layar komputernya itu langsung menoleh. "Iya, Mbak."

Anjani pun langsung menanyakan apa yang dipikirannya tadi.

"Menurut kamu gimana?" Tanya Anjani usai mengutarakan rencananya.

Fajar tampak berpikir sejenak. "Bisa sih, Mbak. Nanti aku telepon asistennya dulu ya. Kalau misalnya oke, sekalian bikin janji temu saja."

Anjani mengangguk mantap. "Sip, thank you."

Ponsel Anjani tiba-tiba saja bergetar yang ternyata ada chat masuk dari Mona. "Woi, ketemuan yuk nanti."

"Yuk." Balas Anjani cepat. "Di PIM aja gimana? Nanti gue nginep di kosan lo, ya. Sekalian pengen cerita."

"Jangan ... jangan. Ketemu di Kokas aja ya, soalnya ada yang mau gue beli di sana. Nanti gue nginep di tempat lo deh."

"Oh, gitu. Ok deh, see you."

Arman tiba-tiba saja meneleponnya dan Anjani buru-buru menjawabnya.

"Hai." Sapanya.

"Lagi apa, Sayang? Gimana persiapan presentasinya?" Tanya pria itu mesra.

"Aman, Mas."

"Oiya, aku cuma mau kabarin, kalau siang ini nggak bisa lunch bareng, ada klien besar mau datang ke Aftive. Nah, kita ketemu sore aja ya. Aku janjian sama anak-anak dan sekalian mau kenalin kamu."

"Yah ... aku udah terlanjur janji sama Mona." Ujarnya dengan nada menyesal. "Dia juga mau nginep di kosan katanya."

"Oh, ya sudah gapapa ... gapapa. Emang kamu sama Mona mau kemana?"

"Kokas aja, sih."

"Lah, aku juga janjian di sana. Ajak gabung aja si Mona, gapapa. Teman-teman aku juga pada nggak bawa pacarnya. Jadi kalau ada Mona, kan kamu jadi ada teman cewek."

"Ya boleh, deh. Nanti kita nyusul agak telatan aja. Mau temenin dia shopping dulu soalnya."

"Oke, deh."

***************

"Jadi lo harus bujuk Dwi Adiguna, supaya bisa direstui sama Arman?" Tanya Mona kaget usai mendengar cerita Anjani.

"Masih ada satu tugas lagi kalau ini berhasil."

Anjani kemudian menyeruput minumannya. Mereka berdua kini sedang duduk-duduk di salah satu kedai kopi di Kota Kasablanka.

"Oh, jadi ini maksud lo kemarin di telepon? Memperjuangkan sesuatu buat hubungan kalian?" Mona terkekeh. "Pantesan aja lo kemarin tiba-tiba matiin telepon."

"Oiya, Mon, kenapa lo nggak pakai cara gue juga, supaya direstui sama Mas Burhan?" Usul Anjani.

Mona hanya menunduk, diam, menyeruput minumannya kemudian mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan.

"Mungkin lo bisa bantu gue presentasi ke Dwi Adiguna." Lanjut Anjani.

Mona menggeleng lemas masih sambil mengaduk-aduk minumannya. "Burhan aja nggak mau memperjuangkan hubungan kita. Pasrah gitu aja. Itu artinya, dia emang nggak benar-benar mau sama gue. Beda sama Arman yang yang memperjuangkan lo."

Anjani pun mengangguk.

"Lagian lo tahu lah, cowok yang antri mau sama gue juga banyak." Mona terkekeh.

"Yah semoga suatu saat nanti, lo bisa ketemu sama cinta sejati lo ya." Anjani berangan-angan sambil tersenyum. "Terus proyek dengan Dwi Adiguna sukses, gue lolos beberapa tahapan tes dari Oma Lidya juga, terus kita bisa nikah dengan pria pilihan masing-masing. Btw lucu kali ya kalau kita nikah deketan, terus hamil bareng, anak kita seumuran dan bisa sahabatan juga."

Mona langsung menatap Anjani yang sedang asyik mengkhayal itu. Dadanya seketika terasa sesak. Apa mungkin semuanya akan terwujud? Apa ada pria baik yang mau mengajak dirinya berumah tangga? Ah, andai saja Anjani tahu siapa dirinya sebenarnya.

"Terus nanti kita bisa saling cerita ke anak-anak kita, masa-masa sulitnya hidup di panti dulu." Anjani sambil tersenyum-senyum lebar kemudian menatap Mona. "Nanti kita juga jadi bridesmaid satu sama lain."

Mona pun buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Lo udah susun rencana belum, gimana caranya nemuin Dwi Adiguna?"

Anjani mengangguk mantap. "Udah ... udah, Fajar sudah hubungin asistennya. Katanya besok dikabarin lagi."

"Terus kalau misalnya lo gagal, gimana?" Tanya Mona hati-hati.

"Gue akan cari investor lain sampai dapat. Pokoknya gue nggak boleh gagal. Gue harus buktikan ke mereka, kalau gue ini pekerja keras dan emang beneran cinta sama Mas Arman. Bukan cewek yang mau numpang hidup sama pria kaya aja."

"Ya sudah, nanti gue coba ngomong sama Dwi Adiguna, ya."

Anjani pun mengernyitkan dahi. "Ngomong sama Dwi Adiguna?"

"Kan Dwi Adiguna investor di Daintie Skincare, jadi ya ... gue kenal beliau."

"Iya, sih. Tapi kan cuma sebatas investor dan lo nggak akrab juga. Emangnya enak ya kalau lo ngomong minta tolong temuin gue?"

"Halah ... lo 'kan tau gue, cepet akrab sama siapa aja. Emangnya elo yang jaim-an." Ledek Mona.

"Tapi dia 'kan mau investasi di Daintie Land, grup-nya Daintie. Gapapa?"

"Bodo amat! 'Kan gue karyawan Daintie Skincare dan lo teman gue."

"Thank you, ya."

"Dia sering ke kantor kok, ntar gue tanyain ya." Janji Mona.

"Btw waktu gue cerita soal Clara, kok lo nggak bilang kalau kenal bapaknya?"

Mona hanya tertawa. "Ya buat apa? Kan nggak penting-penting amat saat itu."

"Iya juga, sih. Eh, ngomong-ngomong Mas Arman ajakin kita gabung sama teman-temannya juga. Katanya mereka ada di sini juga." 

NeglectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang