Tak Disangka

142 12 0
                                    

Tiga hari sudah kepergian Mona seolah tak meninggalkan bekas. Netizen yang tiga hari lalu membanjiri social media membicarakan Mona, kini seolah sudah tak ada lagi yang menyebut namanya. Meski sudah tak ada umpatan, ucapan belasungkawa bahkan simpati pun juga tak ada.

Thomas yang mengetahui keresahan Anjani langsung menghiburnya. "Anjani, Mona sudah ditemani oleh orang-orang terdekatnya di tempat peristirahatan terakhir. Ada kamu, saya, dan semua orang-orang di panti. Jadi kamu ga usah sedih, ya."

Anjani masih terisak.

"Mona punya kamu, sahabat terbaik di hidupnya. Itu pasti sudah lebih dari cukup buat dia." Sambung Thomas.

"Makasih banyak ya, Pak, atas semua bantuan Bapak kemarin." Ujar Anjani. "Tolong sampaikan terima kasih saya buat kedua orang tua Bapak. Maaf, kemarin saya tidak sempat menyapa mereka."

Thomas pun tersenyum. "Sesukses apapun kita, seterkenal apapun kita, pada akhirnya yang menemani ... hanya orang-orang yang tulus. Bukan orang yang hanya mau mengambil manfaat selama kita hidup."

Makna omongan pria itu begitu dalam.

Anjani kemudian memutuskan menemui Arman di rumah untuk menyerahkan surat perceraian, sekaligus menengok putrinya. Begitu baru tiba di rumah, Arman belum pulang. Maka Anjani memutuskan ke kamar putrinya terlebih dulu.

"Dara sayang, apa kabar anak mama?" Anjani langsung memeluk dan menciumi putrinya tersebut.

Mereka bermain bersama di dalam kamar. Anjani mendadak sedih, dulu ini merupakan rumahnya. Namun sekarang, ia hanya tamu di rumah ini meski semua foto-fotonya belum diturunkan.

"Bu, Ibu pulang ke sini lagi, 'kan?" Tanya Lastri yang tiba-tiba memasuki kamar, "Bapak murung terus belakangan, terus suka marah kalau masakan kami ga sesuai dengan masakan Ibu."

Anjani pun tersenyum. "Oh iya, saya lupa kasih resep-resep ke kamu. Nanti saya kasih semuanya, ya. Terus nanti kalau kamu sama Dara main ke Tangerang, saya ajari cara masaknya."

"Jadi Ibu udah ga tinggal di sini lagi?" Raut wajah Lastri tampak kecewa.

Anjani tertawa. "Kan nanti kita tetap sering ketemu."

Tak lama Arman memasuki kamar tersebut. Pria yang masih berstatus suaminya tersebut telah pulang. Mereka berdua sejenak merasa canggung.

"Hai." Sapa pria itu hangat.

Anjani langsung menyerahkan Dara kepada Lastri, kemudian bangkit berjalan mendekati pria itu.

"Ayo, Mas, kita bicara di luar." Anjani langsung keluar kamar terlebih dulu dan diikuti oleh suaminya.

Mereka menuruni tangga menuju taman belakang kemudian duduk di kursi kayu bawah rumah pohon.

"Kamu pulang, ya, please." Arman memohon ketika mereka baru duduk.

Anjani langsung tertawa geli. "Setelah kemarin dua kali menolak permintaan tolong aku, kamu malah seenaknya suruh aku pulang? Gila kamu!"

"Oke, aku ga mau berdebat lagi soal kemarin. Cukup kita bahas soal Mona. Sebagai permohonan maaf atas kesalahan kami, Oma setuju untuk memberi kamu bagian saham lebih besar dari Clara kemarin. Bahkan lebih besar dari cucu mantu Oma yang lain."

Anjani hanya menggeleng.

"Oma mau kasih kamu 20% di masing-masing perusahaan." Ujar Arman penuh semangat. "Kamu mendapat bagian di setiap perusahaan yang kita punya. Bahkan kabar baiknya lagi, nanti yang dijadikan komisaris oleh Oma itu Papa, bukan Tante Susanti, dan dari Papa pasti otomatis diwariskan ke aku."

"Ga tertarik, Mas! Aku mau berkarir menjadi dosen. Cita-cita masa kecil aku. Mas ingat 'kan cita-citaku waktu di panti dulu? Mau jadi intelektual, jadi dosen, lalu guru besar, untuk mewujudkan mimpi orang tua aku yang ga kesampaian itu." Sahutnya datar. "Udah muak aku di dunia bisnis."

NeglectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang