「4. Hesa dan Laci Meja」

12 5 0
                                    

"Hesa, berangkat bareng, yuk!"

"Hesa, main, yuk!"

"Hesa, aku lapar. Makan bareng, yuk!"

Berbagai panggilan Hesa ini, Hesa itu, tidak membuat seorang laki-laki yang sedang tertidur lelap di lantai itu bangun dari alam mimpi. Hesa masih saja menutup rapat mata dengan tangan yang dilambai-lambaikan. Ia tidak ingin tidur lelapnya diganggu siapa pun. Mimpinya saat ini sangat indah, mendengar suara seorang gadis yang membuatnya nyaman untuk melanjutkan kegiatan tidurnya.

Namun, mimpi indah itu tidak berlangsung lama karena ia merasa lehernya sangat dingin seperti di kutub utara. Hesa mengeluh sambil mengucek-ngucek matanya perlahan. Setelah melihat bayang-bayang perempuan dengan rambut yang panjang membuatnya kembali mengambil selimut dan langsung menutup area wajahnya.

Ia yakin yang dilihatnya itu adalah adik pertamanya, Dera. Dera selalu usil saat membangunkannya. Ia juga yakin sekarang masih jam 6 pagi, masih ada dua menit lagi untuk malas-malasan sebelum mandi.

"Kebo banget lo, Hesalioooo!" teriakan Dera yang terdengar sedikit jauh. Padahal Hesa tadi melihat bayang-bayang adiknya itu di sampingnya yang meletakkan es batu utuh dilehernya tadi.

"Hesa, udah jam setengah 7, nanti kamu nggak sempat foto di taman lho," kata seseorang yang membuat Hesa langsung bangkit dari tidurnya menuju kamar mandi yang letaknya di sebelah kamar laki-laki itu.

Hesa yakin suara barusan adalah suara gadis yang selalu mengekorinya kemana saja dan suara Dera tadi memang terdengar jauh karena saat ke kamar mandi, ia melihat Dera berdiri di ambang pintu membawa satu balok es batu sambil tertawa terbahak-bahak.

Sementara tanpa dilihat dengan benar, ia yakin seratus persen bayang-bayang perempuan berambut panjang yang sekilas dilihatnya tadi itu adalah Aelea.

"Bagaimana bisa?" batin Hesa tidak tenang. Ia panik dan juga malu karena gadis itu melihat wajahnya yang tampan itu baru bangun tidur, pasti ada iler dimana-mana.

"Jam berapa sekarang, De?" teriak Hesa sambil menyemburkan air sebanyak-banyaknya dan mandi dengan secepat kilat.

"Jarum jam panjang ke angka 8, jarum pendek ke angka 6!" balas Dera ikut berteriak karena ia melihat jam dari jam di dinding kamar abangnya.

Hesa harus memutar otaknya membayangkan jam yang disebut Dera. Adiknya itu selalu lupa cara untuk menyebutkan jam, ia menyebutkannya berdasarkan angka yang ditunjuk oleh jarum jam.

"Bodo amat, yang jelas jam setengah tujuh kayaknya," gumam laki-laki itu.

Tak lupa ia untuk memasang pomade di rambutnya agar terlihat lebih rapi. Padahal tanpa memakainya, rambut Hesa tetap rapi. Namun, baginya ada yang kurang jika tidak memakai pomade. Kebiasaan yang tidak pernah terlepas dari jenjang SMP hingga sekarang.

Selesai mandi dan memakai seragam sekolah dengan rapi, ia memasukkan kameranya secara hati-hati ke dalam tas yang isinya hanya ada tiga buku tulis dan satu pena. Ia tidak akan sempat untuk mengambil beberapa pemandangan di taman karena sekarang sisa setengah jam lagi menuju sekolah dengan naik transportasi umum.

Buku cetak dan buku tulis lainnya ia simpan di dalam laci mejanya. Alasannya agar tidak berat membawa tas saat pergi sekolah maupun pulang sekolah.

"Dimana Aelea, Kek?" tanya Hesa saat tiba di ruang makan tidak melihat gadis itu.

"Kau punyo cewek ndak dikenalan ka Kakek," celetuk Kakeknya mengabaikan pertanyaan Hesa dengan bahasa Minang. (Kamu punya pacar nggak dikenalin ke Kakek).

"Yo kan nyo ndak cewek Hesa do, Kakek," balas Hesa sambil mengambil dua lembar roti tawar, satunya di celupkan ke dalam cangkir teh kakeknya, satu lagi untuk ia makan di jalan. (Ya, kan dia nggak pacar Hesa, Kakek).

Hesa and Aelea「 END 」Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang