"Hesa, kamu mau kemana?" tanya Aelea yang langsung menahan pergelangan tangan Hesa.
"Aku mau ke kelasnya Tama, Sayang. Ini udah seminggu dia ngasih aneh-aneh berturut-turut. Aku nggak akan bisa diam," kata Hesa sambil melepaskan dengan hati-hati cekalan tangan Aelea.
Aelea menggelengkan kepalanya. "Jangan, Hesa."
"Kamu di sini aja sama teman-teman yang lain. Kita semua lindungin kamu," kata Hesa. Kemudian, ia segera pergi dari kelas itu menuju kelas Tamara yang entah berada di mana.
Hesa hanya dua kali bertemu dengan Tamara. Pertama saat gadis itu menghalang jalannya ke taman, kedua saat di rooftop sekolah. Jadi, sekarang Hesa dan Lean berpencar untuk mencari keberadaan Tamara. Beruntung bagi Tamara karena saat ini siswa-siswi kelas XII seluruhnya sedang free class.
"Gue cari di IPS, lo cari di IPA, ya, Yan!" kata Hesa sebelum mereka berdua benar-benar berpisah arah.
Lean mengacungkan jempolnya. Laki-laki itu sudah masuk ke dalam kelas XII IPA 1 dan mencari-cari seseorang yang bernama Tamara.
Sementara itu, Hesa sudah bertanya ke kelas XII IPS 1 dan XII IPS 2, tidak ada siswa yang namanya Tamara. Ia menyeka wajahnya dengan kasar. Free class kali ini tidak ada yang menguntungkan baginya. Saat ini semua siswi mondar-mandir di koridor lantai tiga dan kantin nenek.
Namun, tiba-tiba ia terpikirkan tempat yang waktu itu membuatnya bertemu dengan Tamara secara tidak disengaja. Rooftop sekolah. Dengan terburu-buru Hesa berlari ke arah tangga yang menuju rooftop. Ia menaiki tangga itu secepat kilat.
Saat sudah tiba di anak tangga paling atas, Hesa melihat sosok perempuan dengan rambut yang digerai sedang sendirian di sana. Sesaat Hesa memicingkan matanya, memperjelas penglihatannya bahwa itu adalah Tamara. Hesa pun mengubah raut wajahnya menjadi tanpa ekspresi satu pun.
"Tama, ya?" sapa Hesa yang membuat gadis yang benar-benar Tamara itu menoleh ke arahnya sambil terkejut.
"Lo? Ngapain ke rooftop?" tanya Tamara saat melihat kedatangan Hesa yang sok akrab itu. Lihat saja, Hesa sekarang berjalan santai ke arahnya dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana dan merangkul bahunya dengan sok akrab.
"Emang di rooftop punya lo doang?" balas Hesa cuek.
Beberapa detik Tamara terdiam dengan perkataan Hesa, sebelum ia menjawabnya dengan tak kalah cuek. "Nggak."
"Tamara, lo mau tahu, ya, kenapa gue ke rooftop?" Hesa bertanya sambil melirik Tamara dari sudut matanya.
Di dalam hatinya sudah bergejolak berbagai jenis emosi. Namun, saat ini harus ia tahan terlebih dahulu karena melihat gerak-gerik Tamara yang berpura-pura tidak tahu alasan Hesa mendatangi gadis itu.
"Gue nggak perlu tahu juga," kata Tamara yang kini sedang berusaha melepaskan rangkulan Hesa yang tak mau terlepas.
Sekarang Hesa diam saja dengan tangan yang terus merangkul Tamara dengan akrab. Padahal gadis itu sudah meronta untuk dilepaskan.
"Lo apaan, sih? Baru juga ngobrol dua kali udah sok akrab gini."
Beberapa menit Hesa tahan sebelum laki-laki itu membisikkan sesuatu yang membuat Tamara terdiam dan berhenti.
"Lo neror cewek gue. Gue bisa lebih brengsek ke lo, Tama. Lo kira gue nggak tahu semua ini ulah lo? Satu tahun lalu juga ulah lo," bisik Hesa tepat di telinga Tamara.
Gadis itu masih terdiam dan Hesa terus mengatakan hal-hal yang membuatnya tidak bisa berkata-kata lagi.
"Gue bisa kirim sesuatu juga ke rumah lo, lebih dari yang lo tinggalin ke Alea. Lo belum kenal gue gimana, Tama. Main-main sama cewek gue, lo jadi gila. Eh, lo kan udah gila juga," lanjut Hesa.
Setelah beberapa saat keheningan melanda mereka berdua. Hesa pun melepaskan rangkulannya dan menepuk bahu Tamara beberapa kali. Tiba-tiba saja saat Hesa ingin kembali ke kelasnya, sekarang Tamara yang mencekal lengannya dengan raut wajah yang penuh dendam.
"Lo yang gue peringatin jangan main-main sama gue, Hesa. Ini masalah gue sama Lea Michelle, bukan sama lo. But, karena lo ikut campur, ya, siap-siap aja," kata Tamara penuh penekanan dan juga mata yang menatap Hesa dengan geram.
Hesa menaikkan bahunya, bersikap acuh tak acuh terhadap ancaman gadis itu. Sekarang Hesa akan bersiap-siap untuk melawan Tamara yang sudah diluar nalar itu. Bisa-bisanya seorang perempuan mengirim teror kepada mantan sahabatnya.
Hesa pun melepaskan cekalan di tangannya dan berjalan santai ke tangga dengan raut wajah tanpa ekspresinya.
"Gue emang gila, bisa buat lo mati!" pekik Tamara yang dicuekkan oleh Hesa. Gadis itu kini mencak-mencak di rooftop dan juga menendang pagar rooftop dengan sekuat tenaga yang menimbulkan suara.
"Lah, suara apaan, tuh?"
"Entah."
"Waduh, anjir, masa ada hantu siang bolong."
"Asalnya dari rooftop, Bro."
Berbagai perkataan yang Hesa dengar setelah turun dari tangga rooftop. Hesa mengabaikan semua itu. Ia pun melangkah lebar untuk kembali ke dalam kelas. Rasanya tidak aman meninggalkan Aelea di kelas tanpa pantauannya.
"Lo udah ketemu dia?" tanya Lean yang menyambutnya saat datang dengan wajah yang sudah merah padam.
Sebelum benar-benar masuk ke dalam kelas, Hesa duduk dikursi yang tersedia disetiap koridor. Ia harus menetralisir raut wajahnya karena Hesa tidak ingin membuat Aelea berpikir macam-macam.
Selama duduk, Hesa bermain dengan pikirannya sesaat. Ia baru saja berpacaran dengan Aelea selama hampir dua bulan, tetapi Tamara selalu mengganggu Aelea. Hesa pikir-pikir, Tamara itu selalu tidak senang melihat Aelea yang bahagia.
"Emangnya ada apa sampai dia dendam gitu sama Alea?" gumam Hesa yang dibalas oleh Lean.
"Gue sama Keano sedang cari, kok. Lo tenang aja," kata Lean yang membuat Hesa terkejut karena Lean yang duduk di sampingnya. Padahal saat duduk, ia sendirian saja.
Dengan cepat Hesa menetralisir rasa kagetnya itu dan menatap Lean penuh harap. "Lo emang sahabat baik gue."
"Ya kali enggak. Gue juga sayang kali sama Lea, apalagi Keano, tuh. Pokoknya kita bertiga sama-sama keisi energinya sama aura positif Alea sejak tahun ajaran baru. Sebelumnya mana pernah kita seheboh ini? Mana pernah kita sering banget kena amukan Nora?"
Hesa mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia setuju dengan perkataan Lean. Sebelum kedatangan Aelea di antara mereka bertiga, mereka bertiga hanya terlihat seperti teman biasa yang sering bersama-sama, kalem, dan populer. Namun, sejak kehadiran Aelea saat tahun ajaran baru di kelas XII, Hesa dan Lean selalu mencari masalah dengan Nora dan Keano yang menjadi pendiam. Aneh, tapi begitu lah.
"Kita sama-sama lindungin Alea, nggak lo doang sendirian, Sa. Kita juga nggak mau lihat lo terpuruk lagi saat kehilangan Ibu lo."
❃.✮:▹ ◃:✮.❃
Aelea menggenggam erat tangan Hesa dengan mata yang berkaliaran melihat ke sekelilingnya. Kejadian teror pertama waktu itu bukan hanya sekali saja, setiap hari selalu saja ada sesuatu di dalam laci mejanya.
Hesa ingin mengadukan hal tersebut kepada wali kelas mereka, tetapi Aelea melarangnya karena teringat bagaimana saat ia mengadu kepada wali kelas di sekolahnya yang lama. Bukannya percaya dengan perkataannya dan membelanya, wali kelasnya itu malah termakan hasutan Tamara. Aelea takut wali kelasnya di sekarang tak jauh beda dengan wali kelasnya yang dulu.
Sudah satu bulan berlalu sejak teror pertama dulu. Satu bulan itu lah keamanan mental Aelea selalu terguncang dan untung saja ada Hesa dan teman-temannya yang melindungi dan mendukungnya.
Saat ini Aelea belum memberitahu masalahnya itu kepada mamanya. Ia takut mamanya semakin marah kepada Tamara dan akan semakin membuat masalah menjadi runyam.
Aelea ingin secepatnya masalah ini berakhir. Apa Tamara tidak puas sudah membuat Aelea harus menjalankan psikoterapi selama hampir satu tahun?
"Aku takut Tamara beneran nekat."
❃.✮:▹ ◃:✮.❃
Hallo!
See you next part!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hesa and Aelea「 END 」
Teen Fiction「Hesa and Aelea」 Percayakah kalian pada pertemuan pertama yang jarang terjadi membuat hubungan itu akan menjadi spesial? Awalnya Hesa tidak akan percaya dengan hal itu. Namun, kini Hesa mempercayainya sejak bertemu dengan gadis polos nan baik bernam...