happy reading!
***
Belvin baru saja mengambil botol minum dari dapur saat tiba di kamarnya dia mendapati laki-laki yang sudah tidak aneh lagi menerobos masuk ke dalam kamarnya sedang berbaring di atas kasur sembari memainkan ponsel.
Laki-laki itu menurunkan ponsel dari pandangannya saat mendengar suara pintu ditutup dan dikunci.
Gavin menyeringai. Menatap muka datar gadis yang semingguan ini tidak dia lihat.
"Gue kira lo udah mati." Belvin menyeletuk enteng. Dia berjalan menghampiri meja belajarnya.
"Gue nggak bakal mati sebelum lo mati." Gavin mengubah posisinya menjadi berbaring menyamping. Menumpu kepalanya dengan kepalan tangan. Menatap lurus-lurus Belvin yang berkutat di meja belajarnya.
"Gue tinggal seminggu lo tambah cantik aja ye."
Belvin tidak menunjukkan reaksi apa pun. Wajahnya tetap lempeng saja tanpa ekspresi. Bahkan dia seolah tidak menganggap kehadiran Gavin sama sekali.
Gavin sudah terbiasa diperlakukan begitu oleh perempuan itu. Memang menyebalkan. Tapi menurutnya itu yang membuat Belvin semakin menarik di matanya.
"Selingkuh nggak lo? Eh, lupa, yang mau sama lo kan cuma gue doang." Gavin melepaskan kekehan ringan setelahnya. Entah apa yang lucu. Tapi menurutnya itu memang lucu. Jadi terserah Gavin saja.
"Nggak sopan banget pacarnya diabaikan."
"Lo nggak lihat pesan gue?" Belvin akhirnya merespons. Meskipun fokusnya masih tertuju pada buku dengan tangan yang masih konsisten bergerak menulis.
"Yang mana?" Gavin jelas-jelas tidak serius bertanya itu. Karena satu-satunya pesan yang dikirimkan Belvin di saat dia menghilang seminggu ini hanya, 'gue mau putus.' Belvin bahkan tidak repot-repot menanyakan kabarnya terlebih dahulu. Memang dasar pacar yang tidak sopan.
"Pergi dari sini," usir Belvin.
"Siapa lo berani ngusir gue?"
Belvin menolehkan kepala. Menatap Gavin dengan kening berkerut. "Ini kamar gue."
"Siapa juga yang bilang ini kamar gue?"
"Lo sama gue udah putus."
"Kata siapa?" Gavin mengangkat badan menjadi duduk bersila di atas kasur. "Yang mau putus cuma lo doang. Gue mah nggak mau." Dia mengangkat bahu sekenanya.
"Sarap," maki Belvin. Dia kembali memilih fokus pada bukunya. Menyesal sekali dia sudah meladeni manusia gila itu.
Gavin menyeringai kecil mendapati Belvin tidak mau mendebatnya lagi perihal meminta putus. Dia menapakkan kaki ke lantai, bangkit dari kasur, lalu menghampiri Belvin di meja belajarnya.
Gavin berdiri di belakang Belvin. Kedua tangannya terulur ke depan menumpu di meja, mengungkungi gadisnya.
"Belajar mulu lo. Mau jadi presiden?" Gavin menumpu dagunya di puncak kepala Belvin.
Belvin memiringkan kepala membuat dagu Gavin terlepas dari puncaknya.
"Gue udah bilang jangan ganggu kalau gue lagi belajar," desis Belvin penuh penekanan.
Bukan Gavin kalau tidak berbuat seenaknya.
Gavin melingkarkan tangannya di leher Belvin dan meremas singkat dadanya. Dan yang selanjutnya dia dapati adalah Belvin membenturkan belakang kepala ke wajahnya.
Gavin spontan meringis. Dia melepaskan rangkulannya di leher Belvin saat merasakan ada sesuatu yang mengalir di hidungnya. Dia mengusapnya. Sudah dipastikan memang darah yang keluar dari hidungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
Teen FictionGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...