Memang benar.
Sekesal-kesalnya Belvin saat Gavin mengganggunya, tetap saja dia sudah terbiasa dengan kehadiran pemuda itu di sekitarnya. Meskipun memang seringnya direcoki, tapi lama kelamaan Belvin jadi sudah terbiasa.
Jadi saat sekarang Gavin benar-benar hilang dari sisinya, Belvin merasa ada sebagian dari dirinya yang hilang. Belvin tidak bisa menjabarkan jenis perasaan apa yang sedang mendiami hatinya sekarang gara-gara menjauhnya Gavin. Baru pertama kalinya dia merasa seperti ini.
Merasa ... takut ditinggalkan?
Tidak.
Belvin segera menepis semua perasaan itu. Tidak seharusnya dia mengharapkan Gavin kembali. Rasanya ada yang salah. Mati-matian Belvin menolak sejenis perasaan bergantung kepada orang lain. Menurutnya, merasa kehilangan Gavin sama saja dengan membuka jalan untuk memiliki perasaan sejenis itu.
Bergantung kepada orang lain. Berharap pada laki-laki.
Biasanya kalau Gavin tidak menghampiri Belvin di perpustakaan, mereka berdua jarang bertemu saat di sekolah karena Gavin yang jarang ke kantin. Tapi sudah semingguan ini, Belvin jadi lebih sering bertemu dengan laki-laki itu. Yang mana itu artinya Gavin sekarang lebih sering nongkrong di kantin sekolah. Selalu ada perempuan di samping Gavin. Dan hampir gonta-ganti setiap harinya.
Tak jarang, Belvin juga sering menemukan Gavin sedang nongkrong di koridor kelas yang bersebelahan dengan kelasnya seraya mengobrol dengan perempuan-perempuan di sana. Seperti sengaja menunjukkan kepada Belvin bahwa dia masih baik-baik saja setelah dicampakkan oleh gadis itu begitu saja.
Belvin sadar. Gavin sengaja melakukannya. Menunjukkan terang-terangan sisinya yang gatel itu. Seolah bilang, "Dicampakkan sama lo nggak ngaruh. Masih banyak yang mau sama gue. Gue masih bisa deketin cewek mana pun yang gue mau."
Alih-alih menyebutnya playboy, Belvin lebih ingin menyebut Gavin cowok gatel, menel, genit, sasimo alias sana sini mau.
Di satu kesempatan, Belvin pernah mendapati Gavin pulang bersama perempuan dari ekskul cheerleaders yang mana jika Belvin tidak salah ingat perempuan itu sendiri adalah ketuanya.
Di lain kesempatan, Gavin terlihat mengobrol asyik dengan perempuan yang mendapat gelar primadona di angkatannya.
Di kesempatan yang lain, Belvin melihat Gavin sedang bersama perempuan di kafe yang sering dikunjunginya. Padahal Gavin tahu kafe itu yang sering Belvin datangi, tapi laki-laki itu seperti sengaja memperlihatkan kepada Belvin sedang jalan berduaan dengan perempuan lain.
Dan sekarang puncaknya.
Belvin berjalan di antara rak-rak buku di perpustakaan, menuju tempat biasanya, sesaat sebelum kemudian langkahnya spontan berhenti saat menemukan sepasang lawan jenis sedang berpelukan di pojok ruangan--yang tak jauh dari meja biasanya dia menghabiskan waktu istirahatnya di perpustakaan.
Sepasang lawan jenis itu adalah Gavin dengan perempuan yang tidak Belvin kenali karena posisinya membelakanginya.
Matanya bertemu dengan milik Gavin. Laki-laki itu tampak kaget. Hanya sekilas. Karena justru yang selanjutnya Gavin lakukan adalah balas memeluk perempuan itu dengan mata tak lepas menatap sang kekasih--masih kekasih seharusnya karena pada dasarnya belum ada kata putus di antara mereka.
Belvin segera menguasai ekspresinya menjadi datar. Berbalik pergi dari sana untuk mencari tempat lain. Bukan, bukan karena cemburu, tapi dia tidak ingin kegiatan belajarnya harus terganggu oleh aksi tidak senonoh yang mungkin akan dilakukan Gavin dan perempuan itu selanjutnya.
Tapi ada yang aneh.
Belvin merasa mencium bau gosong dari hatinya yang terbakar.
Pasti karena terbakar api amarah. Iya, Belvin yakin itu. Marah karena tidak bisa belajar di tempat biasanya. Bukan marah karena terbakar cemburu. Apalagi marah karena Gavin memeluk perempuan lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
Teen FictionGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...