38. Bertahan atau Berhenti?

2.9K 154 14
                                    

hai, haiii. ini part akhir teman-teman. jadi bacanya pelan-pelan aja ya, resapi, pahami. karena part ini cukup panjang juga hampir 3000 kata, jadi semoga kalian suka dan enjoyy!! happy reading!

***

Setelah kejadian itu Gavin jadi tidak mempunyai keberanian memunculkan wajahnya di hadapan Belvin. Malu atas perbuatannya sendiri sampai rasanya dia ingin menghilang saja seperti yang Belvin inginkan.

Satu minggu lagi peringatan kematian Mama. Tepat satu hari sebelum pergantian tahun. Padahal Gavin berencana membawa Belvin mengunjungi peristirahatan terakhir mama itu. Namun, sekarang rasanya sudah tidak mungkin.

Jika Gavin mau lebih mengerti dirinya lebih dalam lagi, setiap menjelang peringatan kematian sang ibunda dia memang menjadi lebih sensitif, temperamental, sulit mengontrol emosinya, mood-nya menjadi naik turun. Semakin berantakan. Kacau. 

Itulah kenapa dia begitu tidak terkontrol ketika cemburu melihat Belvin dan laki-laki lain. Faktor takut ditinggalkan dan takut Belvin berpaling darinya pun berpengaruh besar terhadap pengendalian dirinya yang memburuk.

Namun alih-alih bisa membuat Belvin terus bahagia, rasanya dia hanya akan membuat gadisnya itu semakin menderita jika terus bersamanya.

Bahkan saat itu Gavin memiliki gagasan paling jijik yang mana dia sendiri tidak percaya ide bejat itu sempat mendiami pikirannya.

Gavin sempat berpikir ingin menghamili Belvin jika itu bisa membuat Belvin terus bersamanya. Tidak meninggalkannya. Tidak memiliki kesempatan untuk berpaling kepada laki-laki lain.

Brengsek, kan? Sangat.

Silahkah hujat saja. Gavin akan menerimanya dengan senang hati karena kenyataannya dia pantas dimaki atas ide bejatnya itu.

Jika Belvin mengetahuinya pastinya dia akan langsung membencinya detik itu juga. Semakin muak. Semakin capek dengan tingkah lakunya.

Belakangan ini isi kepala Gavin semakin kacau. Suasana hatinya bertambah buruk.

Bukan hanya gara-gara hubungannya dengan Belvin yang memburuk, tapi penyebabnya lebih besar daripada itu.

Di detik-detik menjelang peringatan kematian sang ibunda, luka yang Gavin kubur dalam-dalam kembali muncul ke permukaan.

Bayangan Mama yang tidak bangun-bangun meskipun sudah dia panggil dengan keras kembali menghantuinya. Bagaimana saat itu dia menggosok-gosok telinganya sampai perih karena menolak percaya embusan napas Mama tidak lagi terdengar. Bahkan wajah Mama yang pucat pasi seakan ada di depan matanya. Tubuh Mama yang dingin terasa masih bisa dirasakan. 

Gavin menjadi gila sendiri.

Tapi bisa-bisanya rasa frustrasinya seakan diejek. Di saat dia berusaha keras untuk tetap waras, ayahnya justru mengadakan pesta di rumah tepat di hari peringatan kematian ibunya.

Halaman rumah yang luas itu penuh oleh mobil-mobil. Orang-orang bersenda gurau, tertawa–seolah menertawakan kegilaannya. Seolah hari kematian ibunya adalah sesuatu yang harus dirayakan dengan cara semenyenangkan ini.

Seiring dengan langkahnya yang mengayun cepat, kedua tangan Gavin terkepal erat. Napasnya memburu. Rahangnya mengeras. Giginya terkatup rapat. Sorot matanya memancarkan gejolak emosi yang meluap tinggi.

Masuk ke dalam rumah. Semakin banyak lagi orang yang dia temukan. Riuh. Obrolan, gurauan, terdengar pecah di mana-mana.

Jelas ini adalah pesta yang tidak seharusnya dilaksanakan tepat di hari kematian ibunya. 

Mata Gavin berkeliaran ke sana kemari. Mencari sesuatu. Mencari dalang pesta ini. Mencari orang paling gila di ruangan ini. Mencari orang yang paling dibencinya di dunia ini. Mencari ayahnya. 

Letting Go Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang