Gavin membaringkan Belvin di kasur. Gadis itu terlelap saat menangis dalam pangkuannya. Pasti melelahkan sekali sampai bisa tertidur di saat air matanya masih mengalir.
Beberapa kali menarik napas dalam, mengembuskannya dengan panjang, sesak itu masih Gavin rasakan. Tangannya dengan lembut merapikan anak-anak rambut Belvin yang yang tersebar di samping wajahnya yang lembab oleh bekas air mata. Ibu jarinya mengusap jejak basah yang masih tertinggal di sudut matanya.
Beberapa menit selanjutnya Gavin sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Duduk di tepi kasur, memperhatikan Belvin sambil menggenggam tangannya.
Lagi, laki-laki itu menarik napas dalam. Dia saja berat melihat kondisi Belvin sekarang, apalagi Belvin yang menjalaninya.
Setetes air mata yang mengalir membasahi pipi Belvin yang masih memejam membuat Gavin menegak.
Apa Belvin sedang mimpi buruk? Kenapa dalam tidurnya pun dia tidak diberi kedamaian?
Saat gadis itu membuka matanya, bangkit duduk dengan napas memburu, genggaman Gavin di tangannya mengerat.
Belvin celingukan seperti sedang mencari. Ketika matanya akhirnya bertemu dengan milik Gavin yang menatapnya khawatir, ada kelegaan yang tergambar di gurat-gurat wajahnya.
Tidak sampai detik berganti wajahnya berubah mengernyit—persis seperti orang yang menahan diri untuk tidak menangis. Sorot matanya seolah sedang mengadu bahwa dia sudah benar-benar mencapai titik lelahnya.
Gavin sungguh tidak berdaya melihatnya. Wajahnya ikut mengernyit. Seperti ikut merasakan apa yang Belvin rasakan.
“Gavin?” Suara Belvin tercekat.
Gavin menggigit bibir. Suaranya pasti akan ikut pecah.
“Di sini,” Belvin menepuk-nepuk dadanya sendiri, “sakit,” ucapnya pilu. “Kenapa… kenapa di sini sakit banget?” Pukulan di dadanya semakin keras. Gavin berusaha menghentikan dengan meraih tangannya, namun Belvin menjauhkannya lebih cepat.
“Bel… stop.” Gavin memohon lirih.
“Kenapa wanita itu bilang aku tidak seharusnya lahir padahal dia sendiri yang melahirkan aku?!” Belvin murka. “Kenapa aku yang disalahkan padahal aku sendiri tidak minta dilahirkan?! Kenapa, Gavin? Kenapa?!” Saat pukulan di dadanya sendiri semakin membabi buta Gavin meraihnya dan mendekapnya erat.
Dada Belvin yang bergerak naik turun seiring dengan napasnya yang memburu oleh gejolak emosi berangsur-angsur normal.
Mata perih dan kepala pusing karena terlalu banyak menangis kembali Belvin rasakan. Dekapan hangat Gavin dan usapan di belakang kepalanya berhasil membuatnya rileks.
Beberapa menit kemudian kepala Belvin terkulai lemah di antara bahu dan leher Gavin. Alam bawah sadar kembali merenggutnya.
***
Esok paginya Belvin bangun dan tidak menemukan siapa pun di kamarnya. Gavin mungkin sudah pulang.
Dia mencoba tidak peduli. Tapi itu adalah sebuah kebohongan. Di saat satu-satunya yang diharapkannya sekarang adalah kehadiran laki-laki itu di sisinya. Mengenal Gavin membuat Belvin menjadi takut sendiri.
Namun dia mencoba membuang jauh-jauh perasaan itu. Kembali membiasakan diri untuk tidak bergantung kepada orang lain, berharap tidak ditinggalkan.
Kejadian Gavin yang menghilang tanpa kabar di saat-saat paling dibutuhkan memberikan trauma tersendiri baginya. Takut seandainya ada kejadian paling buruk yang kembali menimpanya dan dia benar-benar mengharapkan kehadiran Gavin, laki-laki itu justru tidak ada.

KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
Teen FictionGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...