Ingin tahu apa yang Gavin takutkan?
Sepi. Sunyi. Sendiri.
Sayangnya tiga hal itu berkaitan erat dengan dirinya.
Tidak peduli seberapa ramai suasana di sekitarnya, di beberapa kesempatan Gavin selalu merasa kesepian. Sebising apa pun isi kepalanya, telinganya kerap kali sunyi. Gavin memang mempunyai banyak teman, tapi dia selalu merasa sendirian.
Jika mengingat bagaimana sikap Gavin yang hobinya hura-hura, pasti tidak akan mengira Gavin aslinya tidak terlalu menyukai keramaian.
Gavin memang takut sendiri. Tapi, tidak suka keramaian. Lebih suka menyendiri, tapi benci kesepian. Dia bisa ramah kepada siapa saja, tapi terkadang dia hanya ingin diam tanpa perlu memikirkan orang lain yang bingung atas keterdiamannya.
Ramai adalah suasana yang dia ciptakan sendiri karena tidak suka kesepian. Sekaligus tameng yang dia gunakan agar tidak terlihat menyedihkan.
Karena baginya, sendirian itu menyedihkan.
Gavin tidak suka terlihat menyedihkan.
Mempunyai banyak teman, tapi tetap merasa sendirian saat di tengah-tengah mereka, apa yang membuat Gavin seperti itu?
Jawaban hanya satu. Gavin tidak benar-benar ingin berteman dengan siapa pun.
Begitu pun sebagian dari mereka. Gavin tahu. Sangat tahu. Bagaimana sikap mereka di belakangnya.
Tidak mensyukuri hidup.
Menyia-nyiakan privilege yang dimilikinya.
Mentang-mentang anak orang kaya bisa hidup seenaknya begitu.
Itu hanyalah sebagian olokan-olokan mereka yang Gavin abaikan dan bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Meskipun rasanya ingin muntah saat orang yang mengolok-ngoloknya seperti itu bersikap seolah teman yang akan ada di saat suka maupun duka ketika di depannya.
Penjilat yang andal.
Omong-omong soal penjilat, Gavin kenal penjilat andal di antara yang paling andal.
Siapa lagi kalau bukan ayahnya sendiri. Arzan Adinata.
Pria yang disebutnya itu ada di hadapan Gavin sekarang. Sedang duduk menikmati makan malam di sebuah restoran mewah. Di antara orang-orang yang berpakaian rapi dan formal seperti mereka.
Jika bukan diancam tidak akan diberi jatah uang bulanan, Gavin ogah menjadi salah satu dari orang berpakaian formal yang ada di sini. Biasanya ancaman semacam itu tidak mempan, tapi karena sekarang dia harus menyisihkan sebagian uangnya untuk membayar Bi Marni, jadi dia tidak mempunyai pilihan lain.
Meskipun sebenarnya Gavin sendiri mempunyai penghasilan sendiri dari hasil kerja part time di setiap weekend di kafe Om Hari, adik Mama satu-satunya. Meskipun tidak sebanding dengan uang bulanan yang diberi Papa, tapi ya lumayan buat ditabung. Tak jarang juga Om Hari sering memberinya uang jajan.
Makan malam ini bukan bentuk kasih sayang Papa atau effort seorang ayah yang meluangkan waktu untuk menghabiskan waktu dengan keluarga di tengah jadwal padatnya. Ini merupakan salah satu pencitraan Papa. Buktinya beberapa saat lalu, Gavin mendapati orang yang dia tahu sebagai asisten Papa merekam kegiatan makan malam ini. Mengambil beberapa potret yang Gavin yakini akan di-upload di sosial media dengan caption yang menunjukkan Papa adalah family man.
"Sekolah kamu bagaimana, Gavin?"
Gavin melirik si penanya melalui sudut matanya. Ibu tirinya. Veronika, yang merupakan seorang pengacara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
Teen FictionGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...