"Udah gue ganti."
Belvin menghadapkan ponselnya kepada Gavin, memperlihatkan bukti transferan uang sejumlah harga bento yang dipesan Gavin untuknya.
"Kurang itu. Jasa buat gue yang udah pesan makanannya mana? Terus buat jasa nemenin lo makan."
Belvin tidak menanggapi. Berlalu menuju kamar seraya membawa botol air berisi 2 liter.
Di luar hujan terdengar semakin deras.
Belvin spontan menghentikan langkah saat Gavin tiba-tiba berlari melewatinya, lalu masuk ke dalam kamar. Belvin memejamkan mata, menghembuskan napas keras-keras.
Menatap sinis saat menemukan Gavin sudah berbaring di atas kasurnya seraya menyeringai tengil.
Belvin menutup pintu kamar sedikit kencang, menguncinya. Khawatir ibu pulang dan tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya. Bisa bahaya jika ibu mendapati ada Gavin.
Berduaan dengan cowok di dalam kamar apalagi laki-lakinya kayak Gavin memang jelas bahaya. Tapi anehnya Belvin sama sekali tidak merasa terancam setiap Gavin ada di kamarnya. Mungkin karena Belvin sendiri lebih ke acuh tak acuh dengan kehadiran Gavin.
Belvin hanya tidak ingin menambah masalah baru saja. Tapi aksi dia mengunci pintu rupanya ditangkap dengan maksud lain oleh Gavin.
"Takut banget pintunya dikunci." Gavin menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Jangan apa-apain aku dong, Mbak. Aku masih perjaka," sambungnya. Bahkan secara dramatis dia menempelkan punggung ke headboard, menekuk lutut dengan kedua tangan masih menyilang di depan dada, seolah-olah dia benar-benar terpojok dan ketakutan.
Belvin mengerling sinis. Cowok gila.
"Pulang atau gue banting pake ini?" Belvin sedikit mengangkat botol minumnya.
"Jahat banget." Gavin menyelonjorkan kaki. "Hujan, Bel. Nggak denger apa?"
"Gue budeg."
"Oh, pantes."
Belvin mendelik sinis sekali lagi, sebelum kemudian menarik kursi belajarnya, duduk di sana. Memilih kembali menganggap Gavin adalah mahluk jadi-jadian yang kehadirannya tidak terdeteksi.
"Mending sini, Bel. Hujan-hujan gini mah enaknya cuddle, bukan belajar."
Tentu Belvin abaikan.
"Lo belajar mulu deh padahal udah pinter juga. Kayak gue dong. Belajar nggak belajar sama-sama gobloknya."
"Nyadar juga," ceplos Belvin lempeng.
Gavin melepaskan kekehan singkat. "Nyadar itu perlu, Bel. Gue juga nyadar kok lo cinta mati, kan sama gue? Cuma gengsi aja. Nggak usah malu-malu, Bel. Ngaku aja ngaku. Nggak akan gue--"
"Orang gila."
"Makasih, Bel udah cinta mati sama gue. Gue salut dengan keberanian lo buat ngaku."
Satu-satunya cara meningkahi tingkah gila Gavin memang hanya diam. Biarkan saja laki-laki itu mengoceh semaunya.
"Mukanya merah ih, salting, ya?"
Sebenarnya yang paling sabar itu Gavin apa Belvin?
Gavin yang sabar meskipun diacuhkan Belvin sedemikian rupanya? Atau Belvin yang sabar sekali mendengar atau menghadapi kegilaan hingga tingkah aneh Gavin?
Atau mungkin lebih tepatnya mereka bukan sabar tapi imun saja dengan sifat satu sama lain?
"Belvin lucu deh kalau lagi malu-malu gitu. Gemesin. Jadi mau cium."
KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
Teen FictionGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...