Jika ditanya apa Belvin kesepian tinggal sendirian di rumah yang ideal untuk menampung lima orang? Maka munafik kalau dia menjawab tidak.
Meskipun kesepian itu tidak hinggap setiap hari, namun di beberapa kesempatan Belvin memang merasakannya.
Semenjak Belvin kelas sepuluh atau mungkin lebih tepatnya semenjak Mama dan Papa selalu pulang ke apartemen mereka masing-masing, rumah dua lantai itu hanya terhuni satu lantai saja. Lantai atas hanya disambangi saat dibersihkan saja. Itu pun jarang.
Meskipun ditinggalkan sendiri--tak jauh bedanya seperti anak yang dibuang--Belvin tidak pernah merutuki orang tuanya yang menelantarkannya seperti ini. Bukan karena tidak marah atau tidak benci, tapi lebih ke tidak mau membuang-buang energi dan waktu untuk hal yang tidak mungkin ada hasilnya.
Mungkin juga karena dia sendiri sudah mati rasa dan mengabaikan segala sesuatu yang berada di luar kendalinya. Mendapat kasih sayang dari orang tuanya adalah di luar kendalinya. Dia tidak bisa melakukan apa pun untuk membuat mereka menyayanginya. Tidak ingin memaksa. Tidak ingin juga berusaha untuk disayangi.
Belvin menoleh begitu mendengar pintu kaca kamarnya terbuka. Sekilas, hanya untuk memastikan yang datang memang Gavin.
Biasanya Gavin langsung mengoceh atau melemparkan kalimat-kalimat nggak jelas begitu datang. Tetapi sekarang laki-laki itu hanya mengusap sekilas puncak kepala Belvin, lalu duduk di tepi kasur.
Lima menit berlalu, tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Tumben sekali.
Sepuluh menit masih hening. Jujur, membuat Belvin sedikit terusik. Aneh, kan? Saat Gavin banyak bicara Belvin justru jarang terganggu. Tapi saat laki-laki itu diam, dia malah terganggu.
Belvin tidak terang-terangan menoleh. Hanya melirik melalui sudut matanya, melihat Gavin sedang memainkan ponsel dengan wajah tanpa ekspresi, membuatnya tampak dingin. Jarang-jarang Belvin menemukan Gavin dengan raut wajah seperti itu. Dingin dan kusut.
Sedikit terkesiap saat Gavin mengangkat pandangan dan langsung menatapnya lurus-lurus. Belvin baru saja tertangkap basah tengah memandanginya.
Gavin menyeringai kecil jahil. "Nggak usah curi-curi pandang begitu. Kalau mau lihat wajah ganteng gue mah lihat aja. Gue santai kok."
Belvin menatapnya tanpa ekspresi. Lantas memilih kembali fokus dengan buku pelajaran di depannya. Besok ada ulangan harian Biologi.
Gavin menatap Belvin sesaat lantas merebahkan badan. Mengembuskan napas panjang membuat Belvin meliriknya kecil.
Laki-laki itu mengembuskan napas seperti ikut mengeluarkan sesuatu yang menyesaki dada dan mengganggu pikirannya.
Belvin tidak pernah tertarik dengan kehidupan Gavin. Sama sekali tidak. Gavin sendiri tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya. Belvin bahkan tidak penasaran kenapa Gavin bandel sekali padahal mempunyai ayah yang katanya menyayanginya.
Apa Gavin tidak kasihan kepada ayahnya yang harus menanggung malu akibat perbuatannya?
Anak tidak tahu diuntung. Mungkin begitulah isi pikiran orang-orang bila diutarakan kalau mengingat Gavin beruntung mempunyai ayah seperti Pak Arzan.
Belvin tidak pernah menganggap Gavin anak tidak tahu diuntung. Sempat terbesit di pikirannya mungkin ada alasan di balik semua sikap berandalan Gavin. Terdengar naif. Tapi sebenarnya Belvin sedang mencoba melihat sisi positif dari Gavin. Entah karena apa. Mungkin karena dia terlalu terbiasa dengan kehadiran Gavin di hidupnya.
"Bel .... Bel ... Bel?" Gavin memanggil nama Belvin seperti tengah meracau.
"Bel?"
Diabaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
Teen FictionGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...