Kabar Gavin adu tonjok dengan Vano sudah sampai ke telinga Belvin. Tapi kali ini ada yang sedikit berbeda.
Saat berjalan di koridor menuju kelasnya karena istirahat sudah hampir selesai, Belvin mendengar obrolan-obrolan yang menyebut Gavin berantem dan penyebabnya adalah dirinya.
Belvin sempat berhenti melangkah sejenak untuk memastikan yang didengarnya tidak salah. Kenapa Gavin berantem hanya gara-gara dirinya? Memangnya apa yang sudah diperbuat Vano kepada dia?
Dan Belvin baru mengerti saat menunggu ojek online pesanannya di halte seberang gedung sekolah.
"Mau pulang, Bel? Sama gue aja yuk." Adalah kalimat pertama yang Vano ucapkan selepas menghentikan motornya di depan Belvin.
Belvin hanya diam saja. Melihat pun tidak.
"Sok jual mahal banget, Neng." cemooh yang diucapkan dengan nada sinis itu tidak membuat Belvin tergerak ingin merespons. Dia masih anteng membaca hafalan yang tercatat di buku memo kecil dalam genggamannya.
Namun saat kalimat merendahkan keluar dari mulut Vano setelahnya, Belvin spontan mengangkat kepala. "Lo kasih apa ke si Gavin sampai dia betah begitu? Kasih keperawanan lo, ya?"
Belvin refleks mencengkeram buku memonya. Dia tidak pernah seemosi ini sebelumnya. Ingin menampar laki-laki di depannya--yang sedang memasang tampang menjijikan--tapi dia tidak ingin mengotori tangannya karena menyentuh kulit manusia sampah satu ini.
Terlebih lagi Vano pasti akan kesenangan karena berhasil menyulut emosinya. Terbukti dari seringainya yang terbit semakin lebar di wajahnya yang lebam-lebam itu saat melihat sorot mata Belvin berubah menajam--marah.
"Bangsat!!"
Belvin terkesiap mendengar seruan penuh kemarahan itu. Saat menoleh ke samping, dia mendapati Gavin baru turun dari motor dengan terburu-buru. Lantas tanpa aba-aba laki-laki itu melayangkan pukulan ke wajah Vano yang tidak siap menerima serangan Gavin. "Jangan berani-beraninya ganggu cewek gue, bangsat!"
Belvin membeku untuk sejenak. Kaget. Baru kali ini melihat Gavin semarah ini.
Gadis itu segera menarik tangan Gavin dengan kencang saat Gavin akan kembali melayangkan pukulan ke arah Vano. Mereka masih berada di lingkungan sekolah. Sekarang saja mereka sudah menjadi pusat perhatian murid-murid yang baru keluar dari gerbang dan yang sedang menunggu jemputan atau pesanan ojol sama seperti yang tadi Belvin lakukan.
Belvin tidak masalah seandainya Gavin kembali adu jotos dengan Vano saat tidak ada dirinya di sini. Tapi sekarang dia berada di antara mereka. Dan Belvin tidak ingin terlibat sampai nanti harus dimintai keterangan seandainya terjadi apa-apa.
Gavin berhenti meskipun napasnya masih terdengar memburu emosi dengan mata tak lepas memandangi Vano tajam yang dibalas laki-laki itu dengan tatapan serupa. Penuh permusuhan.
Untungnya Vano pun tidak memprovokasi Gavin. Mungkin bogeman yang dilayangkan Gavin barusan dan saat di kantin tadi masih terasa nyeri. Jadi laki-laki itu memakai helm-nya setelah melayangkan tatapan penuh perhitungan untuk terakhir kalinya, lantas pergi dari sana.
Belvin melepaskan pegangannya di tangan Gavin. Bersamaan dengan itu, ojek pesanannya sampai. Sangat pas sekali.
"Pulang sama gue, Bel," ajak Gavin saat Belvin berjalan melewatinya. "Bel?" Dia menahan tangan Belvin yang segera gadis itu tepis kasar.
Belvin menatap Gavin dengan sorot mata sinis dan tajam. Ada amarah besar yang tercetak jelas dalam raut wajahnya. Gadis itu seakan ingin mengatakan sesuatu namun kembali ditelan bulat-bulat. Terlalu drama jika diluapkan di tempat publik seperti ini--di saat sekarang beberapa orang masih ada yang curi-curi pandang ke arah mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
Teen FictionGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...