Sepanjang perjalanan, Belvin merutuki dirinya sendiri.
Entah setan mana yang merasukinya sampai bisa-bisanya mencium Gavin lebih dulu. Dia pasti sudah gila. Belvin terus merutuk.
Sepanjang perjalanan di dalam taksi pun Gavin belum bicara apa pun. Berbanding terbalik saat di atap gedung tadi. Seperti kucing liar diberi ikan.
Belvin tetap mempertahankan membuang pandangan ke luar jendela. Memperhatikan jalanan malam yang sebenarnya tidak ada menarik-menariknya. Hanya saja canggung dan malu yang menguasai dirinya membuat dia tidak sanggup sekedar melirikan mata kepada Gavin.
Di sisi lain, Gavin pun sama-sama tengah melempar pandang ke luar jendela. Bukan menahan canggung atau malu, tapi salah tingkah. Menyembunyikan ekspresi wajahnya yang pasti sekarang tampak seperti bunga yang bermekaran di musim semi. Menggigit bibir, menahan senyumnya tidak mengembang dengan begitu lebar.
Gavin bahkan terlihat seperti orang gila sekarang saking kentara sekali ekspresinya menahan luapan bahagia yang meletup-letup. Sungguh, jika tidak takut akan disangka kesurupan Gavin ingin teriak sekarang.
ARGHHHHH.
*
*
Langkah Belvin sejenak melambat saat melihat ada sebuah mobil yang terparkir di carport. Itu mobil Mama.
Belvin sepertinya bisa menebak alasan kepulangan Mama malam ini pasti untuk marah-marah karena sikapnya di restoran beberapa jam yang lalu.
Tebakannya tidak meleset sama sekali.
Belvin langsung mendapati Mama tengah duduk di sofa ruang tengah sembari berpangku tangan saat dia baru saja masuk ke dalam rumah. Pandangan Mama tertuju lurus-lurus ke arahnya, menghunus tajam.
"Bagus ya baru pulang jam segini," sarkasnya. "Dari mana kamu?" Wanita berusia 40 tahun itu bertanya sinis.
Belvin tidak menjawab. Tidak berniat menjawab. Terus mengayunkan langkah tanpa mempedulikan tatapan Mama yang seakan ingin menelannya hidup-hidup.
"Belvin?!!!" Mama berseru nyaring. Marah. Menarik tangannya kencang sampai Belvin berbalik badan. "Tambah kurang ajar banget kamu sekarang."
Belvin diam tanpa ekspresi. Meskipun tangan Mama yang mencengkeram pergelangan tangannya erat terasa menyakitkan tapi itu tidak ada apa-apanya dibanding hatinya yang mungkin bertahun-tahun menahan sakit sampai akhirnya berakhir mati rasa.
"Adabnya dipake dong, Belvin. Seingat saya, saya pernah mengajarkan kamu sopan santun."
Terus kenapa sekarang berhenti mengajarkannya sopan santun sehingga Belvin hilang arah seperti ini?
"Sekali lagi saya tanya, kamu habis dari mana baru pulang malam begini?"
Belvin masih bungkam.
Lalu, pandangan Mama jatuh pada jas kebesaran yang membungkus dress Belvin. Baru menyadarinya.
"Jas siapa ini?" tanya Mama penuh selidik sembari mencomot jas itu di bagian lengan. "Belvin, saya tanya ini jas siapa?!" Wanita itu terdengar muak hingga nada suaranya naik satu oktaf.
"Sebenarnya apa yang sering kamu lakukan selama ini selama saya tidak ada?" Mama menyipit penuh curiga. "Jangan-jangan kamu sering keluyuran malam-malam? Dengan siapa?" Pertanyaannya menuntut jawaban. "Dengan siapa kamu sering pergi sampai pulang hampir larut begini?" Jika pertanyaan ini tidak dijawab, Mama terdengar akan meledak.
Setelah dari tadi mata Belvin tidak menatap balik mata sang Mama, kini gadis itu menatap tepat di satu titik. Mata ibunya yang memancar penuh penghakiman sekaligus menuntut jawaban di saat bersamaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
Teen FictionGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...