“Kamu tinggal di sini?”
Belvin belum bisa tidur. Jadi dia kembali membuka percakapan padahal di belakangnya Gavin sepertinya sudah mengantuk dari suaranya saat menjawab, “kadang-kadang.”
Belvin diam. Memainkan jari-jari Gavin yang melingkar di perutnya. Ada pertanyaan lain yang terlintas di kepalanya.
“Udah berapa banyak cewek yang kamu ajak ke sini?”
Mencoba bertanya senormal mungkin. Tidak menunjukkan sesungguhnya dia terusik ketika tiba-tiba membayangkan Gavin mungkin sering mengajak perempuan-perempuan yang pernah dekat dengannya ke sini dan… melakukan sesuatu yang tidak ingin Belvin bayangkan.
“Satu sih.”
Gerakannya memainkan jari tangan Gavin terhenti. Ternyata dia memang bukan satu-satunya.
“Siapa?” tanyanya lagi. Mati-matian menjaga suara yang dikeluarkan tidak terdengar keki apalagi cemburu.
“Ya, kamu lah. Emangnya siapa lagi,” jawab Gavin di antara suaranya yang menahan kantuk. “Kecuali kalau kamu bisa membelah diri menjadi tujuh, berarti cewek yang aku bawa ke sini tujuh. Meskipun tetep aja kan kamu-kamu juga.”
“Apasih?” cibir Belvin. Tidak langsung percaya hanya dia satu-satunya perempuan yang pernah datang apartemen ini. “Bukannya dulu kamu sering gonta-ganti pacar ya? Masa nggak ada satu pun dari mereka yang kamu ajak ke sini?”
Gavin yang sejak tadi menanggapi pertanyaan Belvin dengan mata memejam kini membuka mata.
“Percaya nggak kalau kamu pacar pertama aku?”
“Enggak.”
Gavin berdecak. Memang jawaban yang sudah dia duga.
“Aku nggak pernah pacaran sama mereka-mereka. Aneh juga kenapa aku dianggap sering gonta-ganti pacar, padahal satu-satunya cewek yang mau aku pacari itu ya kamu.”
Itu gombalan receh dan mungkin penuh dusta. Sialnya Belvin sedikit tersipu. Untungnya mereka tidak sedang berhadapan. Tidak ingin wajah tersipunya dilihat Gavin.
“Aku serius loh,” sambung Gavin, menyimpan dagu di pundak Belvin, sedikit memajukan kepala untuk melihat wajah sang kekasih. “Itu bukan gombalan. Sejak kamu yang tiba-tiba ngasih payung itu, aku udah tertarik sama kamu.”
“Emang iya?” Belvin menolehkan kepala sehingga matanya bertemu dengan milik Gavin.
“Beneran. Soalnya di waktu itu aku lagi merasa udah nggak ada yang peduli sama aku. Jadi buat apa juga hidup, percuma. Sampai akhirnya kamu tiba-tiba datang, kasih aku payung gitu aja. Tahu nggak? Untuk sesaat aku sempat mikir kamu itu peri yang diutus Tuhan atas permintaan Mama buat aku. Tapi peri kok nggak punya sayap, terus ternyata kamu napak juga, jalan kayak orang biasa. Eh, ternyata kamu emang peri berwujud manusia yang akhirnya bisa jadi pacar aku.” Setelah berkata panjang lebar begitu, Gavin cengengesan di akhir kalimat.
Belvin belum memberi tanggapan. Menatap Gavin cukup lama.
Cengengesan laki-laki itu berubah menjadi senyuman tulus dan penuh makna.
“Kamu harus percaya karena kamu lah aku akhirnya mau tetap hidup sampai sekarang.” Pelukannya di perut Belvin mengerat. “Mungkin kamu pikir cuma karena itu doang. Bagi aku itu nggak sekadar cuma. Bagi aku yang saat itu butuh diyakinkan bahwa masih ada orang yang peduli, itu nggak sekadar doang. You’re my hero, Bel. Baik dulu maupun sekarang, aku bersyukur dengan kehadiran kamu.”
Belvin menyelami mata Gavin dalam-dalam. Dapat ditemukan itu adalah ucapan yang berasal dari lubuk hati paling dalam dan tulus. Tidak ada kebohongan di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
JugendliteraturGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...