Belvin menghalangi Gavin yang ingin ikut masuk ke dalam kamarnya.
"Sana pulang."
"Iya, sama-sama."
Belvin berdeham. Gavin pasti tengah menyindirnya karena belum mengucapkan terima kasih padahal laki-laki itu mau berbaik hati mengantarkannya dengan memesan taksi.
Padahal sebenarnya Gavin tidak butuh terima kasih Belvin juga sih. Dia sukarela melakukannya.
"Gue mau ganti baju."
Gavin mengerling. "Kenapa ngasih tahu gue? Mau gue bantuin ganti bajunya atau gimana?"
Melihat reaksi Belvin sekarang, Gavin bisa menebak seandainya kakinya sedang tidak sakit, Belvin pasti akan menendangnya seperti biasa.
"Gav...."
Gavin terkekeh. "Iya, iya, iya," mengacak-ngacak rambut Belvin yang dikucir satu yang ikatannya sudah longgar membuat rambutnya tambah berantakan. "Gue pulang. Nanti secepatnya gue sini lagi," sambungnya. Memegang sisi-sisi kepala Belvin, mencium sepanjang wajah gadis itu, lalu memberi sedikit tekanan saat mengecup bibirnya.
Ah, ternyata begini ya rasanya melepas rindu.
"Gav?" Gavin baru saja berbalik badan begitu Belvin memanggilnya.
"Hm?" sahutnya, mengangkat sebelah alis.
"Makasih."
Gavin hanya tersenyum kecil sebagai balasan.
"Nanti uang batagor sama taksinya gue ganti."
Gavin tergelak kemudian. Astaga ... Belvin.
Laki-laki itu kembali mendekat, mensejajarkan wajah mereka. "Udah nggak lapar lagi, kan, sekarang?"
Wajah Belvin memerah.
Gavin sadar, sepertinya ini untuk pertama kalinya Belvin tampak salting gara-gara dia. Tadi juga Belvin tidak mencubit atau memukulnya saat dia cium-cium. Apa ini artinya Belvin sudah sepenuhnya membuka hati untuknya?
***
Selain karena gengsinya, ada alasan lain kenapa Belvin lebih memilih bilang, "gue lapar," dibanding secara gamblang bilang dia merindukan Gavin.
Karena Gavin selalu mengingatkannya buat makan. "Udah makan belum?" Adalah kalimat yang sering Gavin tanyakan. "Makan dulu, Bel." Dia selalu memerintah begitu. Gavin juga yang menyuruh Bi Marni supaya membuatkan bekal untuk Belvin bawa ke sekolah.
Jika bukan jadwalnya ke rumah Belvin, Bi Marni menggunakan jasa ojek online untuk mengantarkan bekal buatannya ke rumah Belvin. Tentu Gavin yang membayar biaya ojolnya. Sebelum ada Bi Marni, Gavin selalu rutin membawakannya sandwich di jam istirahat.
Jadi saat Gavin menjauh, tidak ada lagi yang mengingatkan Belvin makan. Tidak ada yang menyuruh Belvin untuk istirahat sejenak saat Belvin terlalu mendorong dirinya terlalu keras dalam belajar.
Ternyata keberadaan Gavin tanpa Belvin sadari sudah memberikan sedikit perubahan untuknya. Belvin yang biasanya tidak butuh diperhatikan, jadi kangen juga mendapat perhatian-perhatian semacam itu.
Belvin beberapa kali melirik jam saat Gavin tak kunjung datang. Dia melakukannya tanpa sadar. Menunggu Gavin. Padahal Belvin sudah berkali-kali mencoba fokus dengan buku-buku pelajaran di depannya, namun bola matanya rasanya gatal sekali ingin terus melirik jam.
Gadis itu refleks mendengus saat jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Katanya secepatnya akan ke rumahnya lagi. Tapi ini sudah empat jam berlalu, laki-laki itu belum datang.
Suara guntur tiba-tiba terdengar. Belvin menoleh ke arah pintu kaca kamarnya yang tirainya belum dia tutup. Kilat tampak menyala-nyala di luar sana. Bunyi guntur kembali terdengar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
Teen FictionGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...