Bayangan wajah Gavin saat menatap langit dengan tatapan kosong yang tampak hampa dan sendu di saat bersamaan terus melintas di kepalanya. Seperti sebuah potongan video yang terus berputar tanpa bisa berhenti.
Konsentrasi Belvin terganggu karenanya. Belvin tidak bisa mengenyahkan bayangan sosok Gavin yang tidak dikenalinya itu, seberapa keras pun dia mencoba. Bayangan Gavin yang tampak seperti kehilangan setengah jiwanya itu memenuhi kepalanya.
Itu adalah sisi Gavin yang sangat asing baginya. Bahkan, Gavin sendiri mungkin tanpa sadar atau bahkan menyesal karena telah memperlihatkan sisinya yang seperti itu. Karena setelah itu, laki-laki itu mengerjap, menoleh kepada Belvin dengan cengiran tengil yang sudah tersungging apik di bibirnya. Lantas, Gavin bangkit berdiri, mengacak-ngacak rambut Belvin sebelum kemudian berlalu, meninggalkannya di bangku taman belakang sekolah tanpa mengucapkan apa pun lagi.
Itu lebih mengganggu Belvin. Karena Belvin sadar, cengiran itu tampak palsu. Seolah dipasang untuk menyembunyikan sesuatu. Seperti tidak ingin ada orang lain yang tahu terkait sesuatu yang disembunyikannya itu.
Setiap orang pasti punya masalah. Belvin menyakini itu.
Termasuk Gavin. Laki-laki itu pasti mempunyai masalah, sama seperti dirinya, sama seperti manusia pada umumnya.
Belvin memang pernah melihat sisi Gavin yang tiba-tiba murung. Atau terlihat menahan-nahan sesuatu agar tidak meledak saat itu juga. Namun, Belvin baru pertama kali melihat Gavin yang seolah kehilangan separuh jiwanya.
"Gue bahkan nggak berani bermimpi."
Ucapan samar Gavin yang serupa angin lalu itu kembali teringang di kepalanya. Belvin jadi bertanya-tanya, apa yang membuat Gavin tidak berani bermimpi?
Meskipun Belvin sendiri tidak mempunyai mimpi yang begitu spesifik, tapi setidaknya dia masih mempunyai mimpi. Dia ingin hidup nyaman dan tenang. Ingin mempunyai hati dan pikiran yang damai. Tidak riuh, tidak berisik, tidak seperti sekarang.
Itu saja sudah cukup. Dia masih berani bermimpi, meskipun sadar mungkin keinginannya itu akan sulit tercapai. Tapi setidaknya, Belvin masih berani bermimpi.
Lantas, kenapa untuk mempunyai mimpi saja Gavin tidak berani? Apa yang membuatnya setakut itu?
Seiring otaknya terus tertuju kepada Gavin, satu lagi kesadaran menikamnya.
Jika dicermati lagi, Belvin tidak tahu apa pun mengenai Gavin. Dia hanya tahu kalau laki-laki itu tukang buat onar, tukang cari perhatian, suka seenaknya dan tentu menyebalkan. Terlepas dari fakta ayahnya adalah seorang pejabat--yang sudah banyak diketahui orang lain di sekolahnya--Belvin tidak tahu apa pun mengenai Gavin.
Seperti, apa Gavin mempunyai saudara? Atau mungkin dia anak tunggal? Dan yang paling krusial ... apa ibu Gavin masih ada? Mengingat selama ini laki-laki itu tidak pernah menyinggung soal ibu.
Jika dipikir lagi, rasanya keterlaluan juga, ya, tidak tahu hal seremeh itu. Atau mungkin itu bukan perkara remeh juga?
Rasanya nggak adil.
Saat Belvin tidak mengetahui apa pun tentang Gavin, cowok itu justru mengetahui terkait kondisi keluarganya yang sebenarnya. Tidak seharmonis yang diliput oleh media. Tidak serukun yang Mama pamerkan di sosial media.
Bicara soal keluarga, bohong seandainya Belvin bilang selama ini dia hidup baik-baik saja ditinggalkan sendiri, hidup tanpa kasih sayang dari orang tuanya. Ya, mungkin dia pernah bilang baik-baik saja. Itu bohong. Tepatnya dia hanya mencoba bersikap baik-baik saja.
Bagaimana pun, Belvin tetaplah anak yang baru berusia 17 tahun. Masih butuh perhatian. Masih ingin dijaga dan dilindungi. Bukan anak yang ditinggalkan begitu saja seolah dulu tidak pernah disayang sebegitu hebatnya. Atau mungkin tidak begitu hebatnya. Karena jika begitu, kasih sayang mereka tidak mungkin berakhir saat dia berumur 6 tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
Teen FictionGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...