11. Lapar

3.6K 225 11
                                    

Gavin tidak bohong soal dadanya berdenyut sakit mendapat tatapan sinis yang Belvin layangkan saat melerai pertengkarannya dengan Vano. 

Meskipun Belvin memang sering menatapnya judes, tapi yang satu itu bukan tatapan sinis yang biasanya Belvin layangkan. Mengandung makna lain. Membuat Gavin merasa dirinya hanya setumpuk sampah yang membuat Belvin mengernyit jijik dan enggan dekat-dekat dengannya.

Kenyataannya dia memang sampah.

Harga diri Gavin terluka. Jujur saja.

Diperparah saat Belvin bilang, "Jangan libatin gue ke dalam masalah lo. Urus aja hidup lo sendiri dan biarkan gue mengurus diri gue sendiri."

Ingin marah, tapi marah kepada siapa? Kepada Belvin karena telah berkata seolah-olah dirinya adalah orang pembawa masalah? Faktanya Belvin tidak salah. Dia memang pembawa masalah. 

Dan kenyataannya Gavin tidak tahu diri. Egonya tetap tersentil. Itu sebabnya dua mingguan ini dia sengaja menunjukkan terang-terangan kedekatannya dengan gadis-gadis lain kepada Belvin. 

Selain ingin memperlihatkan tidak bersama Belvin pun dia masih bisa mendapatkan perempuan mana pun yang dia mau--yang itu artinya Gavin sedang membohongi dirinya sendiri karena kenyataannya perempuan yang dia inginkan hanya Belvin--Gavin ingin tahu bagaimana reaksi Belvin. Yang seharusnya dia tidak perlu berharap banyak kalau Belvin akan cemburu. Belvin tetap datar-datar aja. Tapi Gavin pernah mendapati Belvin menyeringai sinis saat melihatnya merangkul gadis lain saat mereka berpas-pasan. 

Selebihnya Belvin hanya akan pura-pura tidak melihat.

Tapi, saat di perpustakaan, Gavin mendapati reaksi Belvin sedikit berbeda. Saat dia balik memeluk Dona, Belvin tampak kaget. Meskipun tak lama kemudian Belvin kembali berwajah datar dan langsung berbalik pergi.

Apa Belvin cemburu? Saat itu Gavin bertanya-tanya. Rasanya ingin sekali dia melihat Belvin cemburu. Hanya untuk menyakinkan dirinya sendiri bahwa Belvin memiliki rasa untuknya. Meskipun hanya setitik kecil pun.

Di sisi lain, Gavin juga sengaja menjauh karena khawatir Vano mengincar Belvin seandainya tahu mereka masih menjalin hubungan. 

Dari awal Gavin sudah salah mengambil langkah. Sekarang Vano jadi tahu amarah Gavin mudah terpancing jika menggunakan Belvin sebagai umpan.

Satu hari setelah pertengkaran itu, malamnya Vano mengajak balapan yang tentu tidak mungkin Gavin tolak.

Vano bilang, "Kalau lo kalah, lo harus serahin Belvin sama gue." 

Gavin tidak suka mendengarnya. Tidak suka Belvin dijadikan bahan taruhan. Terlebih cara Vano mengatakannya seolah Belvin adalah barang yang bisa dioper seenaknya begitu saja.

Namun, Gavin tidak mempunyai pilihan lain selain menerimanya. Bukan menerima taruhan. Tapi menerima tantangan Vano. "Gue pasti menang. Jadi sebaiknya lo jangan banyak berharap." Karena Gavin percaya diri dia bisa menang yang pada kenyataannya seperti itu.

Gavin menang.

"Lo kalau mau bikin perhitungan atau nyari masalah sama gue, langsung ke guenya. Jangan libatin orang lain, termasuk Belvin. Gue udah nggak punya hubungan apa pun lagi sama cewek itu."

Itu adalah kalimat terakhir yang Gavin katakan kepada Vano sebelum pergi meninggalkan area balapan liar. 

Nyatanya selama kurang lebih dua minggu tidak berada di dekat Belvin yang tersiksa justru Gavin sendiri. 

Gavin rindu melihat ekspresi judes Belvin saat diisengi. Rindu aroma tubuhnya. Ingin memeluk. Ingin menyentuh rambutnya. Ingin mencium sepanjang garis wajahnya. Rindu mengecap bibir manisnya lagi.

Tidur Gavin di UKS terusik saat mendengar sedikit suara gaduh dari beberapa orang yang sepertinya baru datang. Begitu mendengar nama Belvin disebut, Gavin terjaga sepenuhnya.

Belvin jatuh saat lari. Itulah info yang Gavin dapatkan dari seorang siswa laki-laki yang membawa Belvin ke UKS. 

Gavin melongok dari balik tirai yang menutupi brankar tempatnya tidur. Tanpa sadar menghela napas lega begitu mendapati ada tandu yang tergeletak di lantai. Setidaknya dua laki-laki itu tidak menggotong Belvin ke sini dengan tangan kosong mereka. Rasanya tidak rela saat ada laki-laki lain menyentuh tubuh Belvin. 

Saat melihat lutut Belvin terluka cukup parah sampai harus diperban begitu, Gavin khawatir. Gadis itu pasti kesulitan jalan untuk beberapa hari ke depan. Setidaknya satu minggu, paling lama dua minggu. Apalagi mengingat Belvin hanya tinggal sendiri di rumah.

Niat hati ingin kembali mendekat, tapi perkataan menyakitkan Belvin waktu itu kembali melintas di benaknya.

Urus aja hidup lo sendiri dan biarkan gue urus diri gue sendiri.

Jangan pernah datang ke rumah gue lagi.

Betapa pun Gavin ingin memeluk Belvin sekarang. Rindu berdekatan seperti ini. Tapi egonya lebih menang. Dia ingin Belvin sendiri yang memintanya kembali. Meskipun skeptis mengingat gengsi Belvin setinggi Gunung Everest. Atau mungkin saja, Belvin sama sekali tidak pernah memiliki keinginan untuk memintanya kembali. 

Meskipun di beberapa kesempatan, Belvin tampak sudah terbiasa dan nyaman saat bersamanya. Di kesempatan yang lain juga, Belvin masih sedikit menunjukkan kepeduliannya.

Tapi setidaknya untuk sekali saja, Gavin ingin tahu dari mulut Belvin sendiri, bahwa dia juga mengharapkan hal yang sama? Apa Belvin juga menginginkannya? Sekali saja. Gavin ingin tahu ... apa Belvin sama merindukannya? 

"Gavin?"

Gerakan Gavin yang akan membuka pintu UKS spontan berhenti. Dia tidak salah dengarkan? Belvin baru saja memanggilnya.

Gavin menengok ke belakang, menunggu kalimat Belvin selanjutnya. 

Gavin masih menunggu. Sementara Belvin tidak kunjung berbicara lagi. Gadis itu bahkan tidak menatapnya sama sekali. Tampak ragu. Gengsi yang paling mendominasi.

"Kenapa?" Gavin tak tahan juga untuk tidak bertanya. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat karena penasaran apa yang sebenarnya ingin Belvin ucapkan.

Apa Belvin akan menyuruhnya kembali?

"Kenapa, Bel?" ulangnya.

Belvin masih diam.

"Lo mau ngomong apa, Bel? Cepetan gue mau pulang."

Belvin menatap Gavin cepat. Ada jeda lagi sejenak, sebelum bilang. "Gue lapar."

Gavin mengerjap. Yang sejurus kemudian memalingkan muka, menyeringai geli.

Dia lupa. Ini Belvin. Gadis dengan gengsi setinggi Gunung Everest. Gadis yang bahkan terang-terangan malu menganggapnya sebagai pacar. Gadis yang tidak mungkin mau mengeluarkan kata-kata manis hanya untuk menyenangkannya.

Gavin kembali menutup pintu UKS yang sedikit terbuka. Menguncinya.

Mengayunkan langkahnya mendekat, mengangkat dagu Belvin sementara dia menunduk, lantas menciumnya di bibir.

"Gue juga lapar."

bersambung ....

a/n: maaf, ini partnya emang dikit banget haha.

Letting Go Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang