Yang ditakutkan Gavin terjadi.
Belvin sakit.
Suaranya sengau gara-gara pilek. Suhu tubuhnya sedikit hangat. Wajahnya pucat. Namun, alih-alih berbaring istirahat, Belvin justru tetap berkutat di meja belajarnya.
Gavin menatap Belvin tidak habis pikir. Mengembuskan napas kasar, memegang kedua lengan Belvin agar menghadapnya.
Gavin menunduk, mensejajarkan wajahnya dengan Belvin. "Istirahat dulu, Bel. Lo lagi sakit."
"Ini pilek doang." Belvin menggerakkan lengannya. Mengisyaratkan Gavin agar melepas cengkeramannya.
"Pilek doang apanya? Badan lo aja anget begini." Gavin meraba kening dan pipi Belvin. Kemudian menumpu lututnya di atas lantai sehingga posisi tubuhnya lebih rendah dari Belvin yang duduk di kursi. Kedua tangannya kini bertengger di sisi-sisi pinggang Belvin. "Kalau lo terus maksa diri lo kayak gini, bisa-bisa besok lo nggak bisa ikut ujian, Bel."
"Gue udah minum obat. Bentar lagi juga mendingan."
"Ya tetep badan lo harus diistirahatin dulu."
"Nggak bisa, Gavin." Belvin menghela napas, terlihat jengah. Sementara Gavin sendiri sama jengahnya karena Belvin yang keras kepala. "Masih ada materi biologi yang belum gue kuasai. Tahun lalu nilai biologi gue nggak memuaskan. Gue nggak mau tahun ini juga sama kayak gitu."
"Oke. Terus gimana kalau kenyataannya besok lo nggak bisa ikut ujian?"
Belvin diam sejenak. "Bisa kok. Ini juga udah sembuh."
"Udah sembuh tai kucing," semprot Gavin jengkel. Tangannya kemudian terulur ke atas, kembali meraba pipi Belvin dengan punggung tangannya. "Pipi kamu aja anget gini. Pucet. Mata kamu juga tuh lihat. Kamu jelas butuh istirahat. Kenapa sih keras kepala banget?" Gavin jadi cerocos, gregetan.
Sebelum Belvin sempat merespons, Gavin lebih dulu melanjutkan. "Coba deh pikir lagi. Gimana kalau besok badan kamu tambah nggak fit? Jadi nggak bisa fokus. Percuma dong sekarang kamu terus memaksakan diri buat belajar. Kamu jelas, jelas, jauh lebih pinter dari aku. Seharusnya kamu bisa dong pertimbangkan hal-hal yang kayak gini."
"Kamu nggak ngerti, Gav."
"Please, Bel." Gavin menggenggam kedua telapak tangan Belvin. "Kamu boleh berambisi, tapi kamu juga harus pentingin kesehatan kamu dong."
Belvin tiba-tiba menyeringai tipis. "Lihat siapa yang ngomong?"
"Hm?" Gavin menaikkan sebelah alis tidak mengerti.
"Seharusnya sebelum ngomong gitu, kamu harus introspeksi dulu. Cara kamu peduli sama diri kamu aja nggak lebih baik dari aku. Bahkan kamu lebih parah. Suka buat diri sendiri babak belur," tutur Belvin sarkas.
Gavin menelan ludah. "Ya... itu kan--"
"Oke, nggak usah lanjut dibahas," sela Belvin, memejam sekilas. Merasakan kepalanya yang tiba-tiba pusing. Sepertinya dia memang butuh istirahat sekarang.
"Jadi? Istirahat ya sekarang?" Gavin membujuk hati-hati.
Belvin mengembuskan napas. Menatap buku pelajarannya, tampak enggan, namun akhirnya dia mengangguk juga membuat Gavin mengembangkan senyum senang.
"Gitu dong." Saat Gavin menaikkan tubuh hendak mencium, Belvin menarik kepala mundur seraya mendorong wajah Gavin.
"Nanti ketularan," katanya. Bangkit berdiri.
"Nggak papa sih. Selama bisa cium kamu sampai dipisahkan warga."
Belvin mengerling sinis. "Kalau sakit jangan datang ke sini dan minta aku urusin," katanya, naik ke atas kasur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
Teen FictionGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...