27. Deep Talk

2.8K 179 12
                                    

Belvin adalah jenis orang yang tidak bisa menerima kegagalan. Kekhawatiran terhadap tujuannya yang tidak tercapai sesuai harapannya terlampau besar. Itu sebabnya ketika mendapatkan kegagalan sekecil apa pun itu membuatnya resah. 

Seperti beberapa jam sebelumnya saat dia menyadari banyak salah menjawab soal ujian biologi dan pendidikan kewarganegaraan. Bagi orang lain itu mungkin sepele. Tapi bagi Belvin yang selalu mematok hasil sempurna, itu masalah besar.

Alih-alih menerimanya dengan lapang dada, lalu belajar dari kegagalan itu, Belvin lebih menyalahkan dirinya sendiri hingga menyiksa dirinya secara fisik, lalu setelahnya baru belajar dari kegagalan yang diterimanya.

Belvin tidak tahu, tidak memahami atau mungkin tidak sadar bahwa tidak apa-apa tidak selalu berhasil. Tidak apa-apa tidak selalu mendapatkan hasil sempurna.

 Mendapatkan kegagalan adalah hal wajar yang seharusnya diterima dengan lebih positif dengan catatan setelahnya kita tidak boleh menyerah. 

Belvin tidak mau mengenal proses itu. Sesekali gagal boleh, asal tidak boleh menyerah. Dia selalu menuntut pada dirinya sendiri untuk memastikan jalan mencapai tujuannya selalu mulus tanpa berlubang.

Menyalahkan diri sendiri, mengumpati dirinya semakin keras, melukai diri secara fisik adalah cara Belvin menghadapi kegagalan yang didapatkannya. 

Gavin menatap Belvin cukup lama. Belum ada respons yang diberikan setelah Belvin mengatakan sebenarnya mereka tidak bisa memahami satu sama lain.

"Kamu menerima aku di samping kamu itu sebenarnya... karena kamu mulai sayang atau mau mengubah aku sesuai yang kamu inginkan?" pertanyaan bernada meragukan itu Belvin sambut dengan kernyitan di dahinya.

Setelahnya, sudut bibir Belvin tertarik tipis, mendengkus. "Terserah lo mau berpikir bagaimana. Gue nggak ada keinginan buat jelasin," sinisnya. "Sebaiknya lo pergi sekarang." Dia melanjutkan. Berbalik badan seakan sudah malas melihat wajah laki-laki di depannya.

Ketika langkah Belvin terayun menuju kamar mandi, sudut matanya melihat Gavin berjalan keluar dari kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi.

Belvin mengembuskan napas panjang. Kepalanya yang tadi dia pukul-pukul sekarang baru terasa sakit dan pusingnya. 

Selalu begitu.

Saat  sedang melukai dirinya sendiri, Belvin abai terhadap luka-luka yang akan timbul setelahnya. Saat sudah kembali ke keadaan yang lebih sadar, luka itu baru terasa dan perlahan mulai mengusiknya. Ironinya, Belvin terus mengulang hal yang sama. Tidak bisa menghentikan keinginan menyakiti diri sendiri.

Tidak ada yang menyadarkan. Dan saat disadarkan, Belvin tidak bisa langsung menerimanya. Bagaimana pun keluar dari hal yang selama ini sudah menjadi kebiasaan adalah hal yang sulit. Terlebih, Belvin melakukan itu untuk mendorong dirinya lebih keras.

***

Gavin melakukan kebiasaannya lagi.

Hilang setelah mereka bertengkar. Satu hal lainnya yang tidak Belvin sukai dari Gavin. 

Alih-alih kembali membahasnya dengan kepala yang sama-sama dingin, laki-laki itu lebih menghindar dan kembali muncul sesuka hati seolah tidak ada masalah.

Belvin merasa sangat kesal ketika Gavin bertanya yang terkesan meragukan perasaannya. Seandainya tidak sayang, dia pasti sudah melapor ke polisi atau minimal ke Bu Ratna atas pemaksaan, menyeludup rumah orang sembarangan, pelanggaran privasi, obsesif dan hal-hal lainnya yang merugikannya yang dilakukan oleh Gavin.

Kenyataannya tidak begitu, kan? Bahkan saat Belvin masih risih dengan pendekatan Gavin yang menyebalkan, dia sama sekali tidak mempunyai pemikiran jahat untuk melaporkan tindakan Gavin yang sewenang-wenang. 

Letting Go Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang