Belvin akhirnya merasakan jenuh juga karena waktu istirahatnya terus-menerus dihabiskan belajar di perpustakaan. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Belvin merasa jenuh, tapi mungkin ini pertama kalinya Belvin mau membebaskan rasa jenuh itu dengan mencoba suasana baru belajar di taman belakang sekolah.
Ya, meskipun ujung-ujungnya tetap belajar dan di taman belakang yang terbilang jauh dari keramaian. Paling hanya ada satu atau dua murid yang memilih taman belakang untuk dijadikan tempat istirahat.
Seperti sekarang. Jika Belvin mau mengamati sekitarnya lebih cermat, hanya ada tiga murid yang menduduki bangku-bangku di taman ini. Sama seperti Belvin, mereka bertiga duduk sendiri-sendiri di bangku yang ditempatinya masing-masing, itu pun jarak antara bangku si murid satu dengan murid lainnya cukup berjauhan. Termasuk dengan jarak bangku yang Belvin duduki sekarang.
Belvin belum membuka buku yang berisi rangkuman materi pelajaran biologi. Entah apa yang menggerakkan dirinya untuk terus memaku tatap pada keramaian yang terjadi beberapa meter di depan sana.
Di tengah lapangan ada sekumpulan anak-anak cowok sedang bermain futsal. Sepertinya habis pelajaran olahraga dan mereka masih enggan untuk beranjak dari lapangan. Di sisi-sisi lapangan, terdapat beberapa gerombolan cewek yang sedang menonton. Mereka berkelompok. Tidak ada yang duduk sendiri-sendiri seperti yang sering Belvin lakukan.
Tiba-tiba, ucapan Gavin malam kemarin melintas di benaknya.
"Manusia itu mahluk sosial, kan?"
Secara tersirat, Gavin seolah mengatakan jika manusia tidak mungkin bisa hidup sendirian. Harus bersosialisasi. Harus berteman.
Bagi Belvin, berteman itu merepotkan. Lagi pula selama ini Belvin memang tidak mempunyai waktu untuk menjalin pertemanan. Dia terlalu fokus, ambisius pada peringkat, nilai dan segala hal yang membuatnya bisa mempertahankan posisinya sebagai si juara satu.
Sekarang, setelah kehadiran Gavin, Belvin baru menyadari jika dulu hidupnya se-flat dan sesepi itu. Belvin juga menyadari ada kalanya dia merasa kesepian. Setelah kehadiran Gavin, dia baru menyadari itu. Kesepian. Gangguan-gangguan Gavin ternyata cukup menyenangkan juga. Asalkan tidak melebihi batas-batas yang sudah ditentukannya.
Bicara soal Gavin, sendirian dan kesepian, Belvin segera menyadari mungkin laki-laki itu tidak pernah merasakan dua kata terakhir tadi.
Sendirian dan kesepian.
Selalu ada orang di sekeliling Gavin. Cowok itu punya banyak teman yang bisa diajak bermain, mengobrol, diganggu dikala bosan.
Gavin ... mempunyai banyak teman.
Sangat berbanding terbalik dengan Belvin.
Fakta itu seketika langsung menghantam kesadaran Belvin detik itu juga.
Gavin mempunyai banyak teman. Sementara dia ... satu pun tidak.
Satu-satunya yang mungkin bisa dia akui sebagai temannya adalah Gavin.
Jika Gavin pergi, dia akan sendirian. Lagi.
Sendirian.
Entah kenapa kata itu sekarang terasa sangat menyedihkan.
Belvin segera menguasai diri. Kembali menjadi Belvin yang mati rasa. Tidak seharusnya dia terlena seperti ini.
Belvin mengembuskan napas. Memejamkan mata rapat-rapat. Menetralkan emosinya yang gelisah tanpa sebab--dia tahu penyebabnya tapi menolak untuk memvalidasinya.
Semilir angin yang menerpa kulit wajah, menerbangkan anak-anak rambutnya yang terurai, terasa begitu menyejukkan. Keputusan belajar di taman rupanya tidak salah juga. Dia jadi bisa merasakan hawa sejuk yang dibawa angin dan suasana teduh dari pohon trembesi yang daunnya begitu rimbun menudingi tempatnya duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
Teen FictionGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...