⚠️⚠️
Ironis sekali.
Beberapa bulan yang lalu mereka menikmati liburan sekolah dengan penuh suka cita. Menyenangkan. Sampai rasanya mereka bisa hidup bersama-sama selamanya.
Tapi, sekarang? Luar biasa berbanding terbalik.
Bukan lagi suka cita, melainkan galau merana. Tidak lagi menyenangkan, yang ada hanya kesedihan. Tidak lagi merasa bisa hidup bersama selamanya, tapi rasanya sekarang mereka sedang berada di titik antara lanjut dan berhenti.
Berbanding terbalik dengan Gavin yang memilih mengurung diri di apartemen menikmati kesendirian yang perlahan-lahan seakan membunuhnya, Belvin kembali menyibukkan diri dengan les tambahan yang dia ikuti di hari libur.
Meskipun beasiswa full itu sudah tidak bisa dia dapatkan, Belvin masih bisa mengejar beasiswa lainnya yang disediakan oleh lembaga-lembaga lain di luar sekolah.
Meskipun cara menikmati patah hati mereka berbeda-beda, mereka jelas sama-sama terpuruknya. Hanya saja Belvin sudah terbiasa menguasai diri dengan cepat dan berlagak baik-baik saja.
Mereka juga belum bisa dikatakan putus karena tidak ada kata perpisahan yang terucap di bibir masing-masing. Baik Gavin maupun Belvin sedang masuk ke dalam fase merenungi kesalahan masing-masing dan memikirkan langkah selanjutnya yang harus mereka ambil.
Atau mungkin barangkali mereka tidak tahu letak kesalahan masing-masing.
Mereka menjauh hanya untuk mengambil jarak terlebih dahulu, menenangkan diri masing-masing, sebelum kembali saling minta maaf tanpa menyinggung masalah yang sempat membuat mereka berkonfrontasi hebat.
Lima hari pasca pertengkaran itu Gavin baru berniat memperbaiki hubungannya dengan Belvin. Namun sepertinya semesta masih belum mau merestui.
Sekitar jam enam sore Gavin memacu motornya menuju komplek rumah sang kekasih. Ketika hampir sampai di rumah itu, dia melihat Belvin baru saja turun dari motor yang mengantarnya pulang.
Di balik helmnya Gavin mengernyit, menyipitkan mata, melihat laki-laki yang mengantar Belvin pulang itu jelas bukan ojek online. Rahangnya spontan mengeras saat laki-laki itu tiba-tiba membantu Belvin membuka helm yang dipakainya.
Menambah kecepatan gas motornya, tidak butuh waktu lama Gavin sudah sampai. Langsung turun dari motor sambil membuka helm. Semakin emosi saat laki-laki itu akhirnya menoleh, memperlihatkan wajah yang ternyata Gavin kenali.
Laki-laki yang mengantar Belvin pulang ternyata Tara.
Tanpa aba-aba Gavin langsung mendorong keras Tara menjauh dari hadapan Belvin.
“Jangan deket-deket cewek gue anjing!” Bola matanya melotot penuh amarah.
“Gavin?!" Belvin terkesiap, menyentak.
“Woy, bro. Kalem.” Tara yang terhuyung hampir jatuh protes tidak terima. “Gue cuma nganter Belvin pulang.”
Gavin menyeringai sinis. Tersenyum mencemooh.
“Lo pikir gue nggak tahu kalau diem-diem lo naksir cewek gue?”
“Gavin?” Belvin menegur tidak suka. Hendak meraih tangan Gavin, namun laki-laki itu menghempaskannya bahkan tanpa menatapnya sama sekali.
“Lo selalu modus ngajak ngobrol cewek gue. Lo pikir gue nggak tahu? Ini juga bentuk modus lo kan? Lo merasa cewek gue bakal ngelirik lo—”
“Gavin!” Belvin menyentak marah.
Tapi Gavin seolah tuli. Sorot matanya tertuju lurus-lurus ke arah Tara. Dingin. Menghunus tajam.
“Kalau gue emang suka sama Belvin lo mau apa?” Tara mengangkat dagu, menantang. “Hak gue mau suka sama siapapun. Lo nggak bisa larang gue buat suka sama Belvin. Dan lo pikir, Belvin bakal betah gitu sama cowok kasar kayak lo?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
Teen FictionGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...