Belvin bukannya tidak menyadari belakangan ini dia mengabaikan Gavin. Dia sadar. Namun tidak ada yang bisa dilakukannya juga selain tetap kembali fokus pada tujuannya.
Beberapa bulan ke belakang dia sempat terlena oleh kebahagiaan yang diberikan Gavin. Lupa bahwa kebahagiaan yang tercipta oleh orang lain hanya bersifat sementara.
Waktu berlalu begitu cepat. Ujian tengah semester telah berakhir.
Belvin terpaku ketika yang keluar sebagai juara pertama bukan namanya yang disebut. Dia meragukan pendengarannya sendiri saat namanya diumumkan turun sebagai juara kedua.
Pupus sudah. Segala yang sudah dia pertahankan selama ini dengan mati-matian harus berakhir.
Belvin murka.
Kenapa tidak ada satu pun yang berjalan sesuai harapannya? Kenapa masalah harus menimpanya bertubi-tubi seperti ini?
Apa salahnya sampai harus menjalankan hidup sememuakkan ini? Apa salahnya sampai kenyataan harus sekejam ini?
Berdiri mematung dengan tatapan kosong, tatapannya tertuju lurus-lurus ke arah meja belajar yang penuh dengan tumpukan buku yang berantakan, sticky notes yang menempel di sana-sini.
Belvin masih tidak mengerti kenapa dia harus gagal padahal selama ini dia sudah berusaha keras?
Muak. Muak. Muak.
Detik selanjutnya jeritan keras meluncur keluar dari bibirnya. Belvin berteriak keras. Marah.
Persis seperti orang yang kehilangan kontrol diri, Belvin menyingkirkan semua barang-barang yang ada di meja belajarnya. Mengobrak-ngabrik dengan membabi buta. Menjerit-jerit penuh kemarahan.
Tubuhnya bahkan sampai condong ke bawah seolah ingin seisi dunia mendengar teriakannya. Kepala dan badannya bergetar seiring dengan teriakannya yang keluar sampai rasanya pita suaranya bisa saja putus.
Buku-buku yang selama ini melihat perjuangannya dia banting-bantingkan ke sembarang arah bak kesetanan.
Pintu kamar terbuka dengan keras. Gavin muncul dengan wajah kaget yang bercampur kekhawatiran.
“Bel, udah. Bel?” Dia mencoba menahan tubuh Belvin, namun gadis itu memberontak. Tidak mau dihalangi.
Beberapa buku pelajarannya dia robek-robek.
“Belvin!” Gavin masih berusaha keras menghentikannya.
Belvin marah. Mendorong Gavin menjauh. Dia kembali meraih buku di lantai, merobek-robeknya lagi.
Gavin meraih lengannya. Belvin menghempaskannya kasar. Tidak mau. Jangan mengganggu.
Belvin berteriak lagi. Matanya mencari-cari barang mana lagi yang harus dia banting dan rusak. Detik berikutnya, kedua tangannya mencengkeram rambutnya sendiri, menjambaknya kasar sampai kulit kepala rasanya mau ikut terlepas.
Belvin tidak peduli. Dia sudah berada di titik tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Berada di batas kewarasan sampai perilakunya sekarang persis seperti orang gila.
Gavin menarik lepas tangan Belvin dari rambutnya. Dan gadis itu masih terus berontak.
Saat matanya menemukan cutter yang tergeletak di atas lantai, Belvin hendak meraihnya namun Gavin yang tahu maksudnya dengan cepat menahannya, mencengkeram lengan sang gadis dengan kuat.
Saat Belvin mencoba lepas dari cengkeraman itu Gavin menyentak. “Belvin Jolie!!!”
Sentakan itu berhasil membuat Belvin terdiam. Di antara napasnya yang memburu dan bola matanya yang memerah, dia menatap Gavin kaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
Teen FictionGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...