⚠️🫣
***
Sebelum benar-benar dikeroyok, Gavin terselamatkan oleh kedatangan polisi. Yang sebenarnya tidak bisa disebut terselamatkan juga karena setelahnya dia digiring ke kantor polisi.
Dan tahu apa yang selanjutnya terjadi? Polisi tersebut mengenal Gavin anak Arzan Adinata. Pasalnya ini juga bukan pertama kalinya dia diamankan karena terjerat kenakalan remaja. Jadi tanpa perlu repot-repot bertanya nomor orangtuanya seperti yang dilakukan kepada anak-anak yang lainnya, polisi--tersebut sangat inisiatif sekali menghubungi seseorang yang bisa langsung memberi laporan kepada Pak Arzan terkait masalah anaknya.
Berbeda dengan Vano, Farhan dan yang lainnya yang harus menunggu lebih lama sampai para orangtua mereka sampai, Gavin sudah lebih dulu dijemput oleh asisten Papa.
Jika sudah begini Gavin tahu apa yang selanjutnya akan terjadi.
Tidak salah lagi. Firasatnya sama sekali tidak meleset.
Gavin digiring asisten Papa ke ruang kerjanya. Di kursi kebesarannya itu, Papa duduk dengan setumpuk pekerjaan di hadapannya.
Begitu pintu ditutup, Papa mengangkat kepala, mengalihkan atensi dari iPad di tangan, menyimpannya di atas meja, berdiri dari kursi. Kakinya mengayun ke arah Gavin dengan teratur, penuh wibawa. Pembawaannya yang tenang membuat siapa pun segan kepadanya. Dan, di beberapa kesempatan auranya begitu mengintimidasi. Dan itu lah yang terjadi sekarang.
Jika orang lain--para bawahannya--selalu menunduk hormat, apalagi jika sudah ditatap sedemikian intens seperti sekarang, maka Gavin kebalikannya. Dia menatap balik mata sang ayah. Tidak gentar. Tanpa merasa terintimidasi. Karena yang ada Gavin jijik melihat wajah pongah itu, wajah angkuh yang seringkali merendahkan Mama. Bahkan sampai akhir, sampai Mama mengembuskan napas untuk terakhir kalinya.
Tanpa sadar Gavin mengepalkan tangan erat. Kembali teringat.
"Kamu sebenarnya mau jadi apa, Gavin?" Tepat di hadapan sang anak, pria yang seperti Gavin versi dewasanya itu mulai membuka suara. "Mau jadi mahluk rendahan seperti ibu kamu?"
Kepalan tangan Gavin semakin mengerat. Rahangnya mengeras. Sorot matanya menajam.
Selalu seperti itu. Tutur bicara Papa sama sekali tidak mencerminkan orang yang berpendidikan tinggi. Sangat berbanding terbalik dengan citranya yang dibangun di depan publik.
Mahluk rendahan. Begitu lah Papa selalu mencaci Mama.
"Saya tidak meminta kamu untuk jadi anak berprestrasi karena saya tahu kamu tidak akan mampu melakukannya," seringai meremehkan terbit setelahnya, "saya hanya minta kamu hidup tenang, jangan banyak tingkah, nikmati kenyamanan yang saya berikan, apa sesulit itu?"
Jika ayahnya bukan Arzan Adinata, Gavin mungkin bisa melakukannya. Hidup tenang. Tidak banyak tingkah. Karena kenyataannya itulah yang selama ini dia dambakan. Tapi karena Papa adalah orang yang menyebabkan Mama meninggal lebih cepat, dia tidak melakukannya.
Sampai kapan pun Gavin tidak akan melupakan bagaimana perlakuan Papa yang membuat Mama sakit-sakitan. Sedetik pun Gavin tidak pernah lupa... Papa yang justru bermain dengan wanita lain saat Mama tengah berjuang di antara hidup dan mati sampai akhirnya kematian lah yang berhasil merengkuh Mama, meninggalkannya yang hancur berkeping-keping.
Sebelum sesak, amarah, dendam di hatinya hilang, Gavin tidak bisa hidup tenang. Bahkan dia rela menghancurkan dirinya sendiri jika itu bisa membuat Papa hancur.
Marilah ke neraka bersama. Sementara Mama di surga menangis melihatnya.
"Seharusnya kamu bersyukur saya masih menganggap kamu anak. Banyak orang di luaran sana yang mau berada di posisi kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
Fiksi RemajaGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...