Belvin kaget.
Tiba-tiba menemukan seorang wanita paruh baya berada di dapurnya sedang berjongkok di hadapan kulkas yang terbuka sambil memasukkan sayur-sayuran dan belanjaan lainnya dari dalam kardus di sampingnya.
Belvin melanjutkan langkah dengan sedikit mengeluarkan suara untuk menunjukkan kehadirannya.
Berhasil.
Wanita paruh baya itu menengok, lantas berdiri sembari menyunggingkan senyum hangat membuat aura keibuannya begitu terpancar.
"Udah bangun, Non?" tanyanya ramah.
Hari ini Minggu. Libur sekolah. Sekarang jam menunjukkan pukul delapan pagi. Sebenarnya jam lima juga Belvin sudah bangun. Jika tidak ada urusan yang membuatnya harus keluar, Belvin hampir bisa seharian mendekam di kamarnya.
Sekarang keluar dari kamar pun karena ingin mengisi botol minumnya yang airnya sudah tandas tidak tersisa. Dia belum sarapan. Tidak lapar.
"Tadinya mau bangunin Non cuma nggak enak takutnya mengganggu."
Si Bibi belum memperkenalkan diri sama sekali. Membuat Belvin bertanya-tanya, siapa yang mengutusnya ke sini? Tidak mungkin Papa apalagi Mama.
Selama ini mereka baik-baik saja meninggalkan Belvin sendiri di rumah tanpa mempekerjakan asisten rumah tangga. Mungkin biar Belvin hidup mandiri. Yang sebenarnya Belvin syukuri juga karena dia lebih nyaman sendiri tanpa ada orang asing di sekelilingnya.
"Maaf ... tapi, Bibi siapa, ya?" Belvin menyuarakan rasa penasarannya.
"Ah ... Bibi kira Den Gavin sudah memberitahu, Non."
Gavin?
"Nama Bibi Marni, Non. Mulai sekarang untuk urusan masak dan beres-beres biar Bibi yang kerjain. Tapi Bibi nggak akan ke sini setiap hari, Non, hanya seminggu tiga kali."
"Gavin yang menyuruh?"
"Iya, Non."
Belvin refleks membuang muka kesal. Helaan napasnya ditarik keluar dengan kencang.
Melupakan niatnya untuk mengisi botol minum, Belvin pamit kembali ke kamar ingin menghubungi Gavin.
Gadis itu berdecak saat panggilannya tidak kunjung diangkat.
Enggan menghubungi ulang, Belvin memilih membahasnya nanti saat bertemu dengan Gavin.
Giliran ditunggu tidak datang. Sekalinya tidak dibutuhkan laki-laki itu seperti jelangkung.
Ujung-ujungnya eksistensinya baru terlihat di keesokan harinya saat upacara bendera.
Belvin mengamati Gavin tanpa ekspresi yang baru saja digiring ke tengah lapangan gara-gara baru datang saat upacara sudah hampir selesai.
Pemandangan yang tidak aneh.
Guru-guru saja bahkan tampak sudah bosan melihat Gavin dan kawanannya itu dibariskan di tengah lapangan.
Bosan, miris, gregetan, kesal tapi tidak bisa berbuat banyak untuk membuat Gavin jera. Padahal mengingat pelanggaran yang selama ini Gavin lakukan dia sudah sangat pantas menerima surat drop out.
Tapi, ya siapa sih yang berani mengeluarkan anak donatur terbesar sekolah? Apalagi ayahnya yang walikota itu secara tersirat menyuruh guru-guru untuk memaklumi dan menormalkan saja sikapnya.
Bagi yang tidak tahu, mereka pasti akan menganggap sang ayah sangat menyayangi Gavin. Padahal kenyataannya sangat berbanding terbalik.
Banyak yang mengasihani Pak Arzan--nama ayah Gavin--karena mempunyai anak seperti Gavin. Katanya, "kasihan ya, Pak Arzan. Citranya bagus sayangnya kecoreng gara-gara anaknya berandalan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
Подростковая литератураGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...