Sejujurnya Belvin masih mengharapkan Gavin bercerita lebih banyak dibanding hanya sekadar bilang laki-laki itu membenci ayahnya.
Belvin tidak pernah ingin tahu kehidupan orang lain sebelumnya. Ingat, dia adalah apatis yang menarik diri dari lingkungan sekitar. Baru kali ini dia mempunyai ketertarikan ingin mengetahui cerita hidup orang lain. Gavin yang membuatnya seperti sekarang.
Bukan karena hanya sekadar ingin tahu. Tapi, Belvin ingin mencoba peduli. Tidak bisa menyangkal lagi pada dasarnya Belvin memang sudah menyimpan kepedulian kepada Gavin.
Setelah mimpi buruk yang menimpa Gavin yang dia saksikan sendiri bagaimana gelisahnya Gavin saat itu dalam tidurnya, rasa ingin mengenal Gavin lebih dekat semakin besar.
Tapi sampai sekarang pun Gavin tidak bercerita apa pun lagi. Kembali ke Gavin yang seolah hidupnya senang-senang saja. Seolah tidak pernah muncul dengan wajah putus asa di hadapan Belvin. Seolah tidak pernah mengatakan membenci ayahnya. Gavin menyembunyikan lukanya dengan baik. Kembali memasang tembok besar yang tidak dapat dilewati siapa pun--termasuk Belvin sekali pun.
Belvin semakin menyadari Gavin itu rumit. Semakin Belvin membuka pintu lebih lebar untuk Gavin masuk, Gavin justru terasa semakin menjauh. Kehadirannya memang dekat, tapi Belvin merasa Gavin semakin memberi jarak.
Rumit.
Gavin memang rumit.
Sampai kapan pun Belvin merasa tidak akan bisa memahami Gavin. Terlebih saat laki-laki itu sendiri yang menolak untuk dipahami.
Ini alasan Belvin tidak pernah tertarik menjalin hubungan dengan siapa pun. Rumit. Membingungkan. Bikin frustrasi saja. Menambah-nambah beban pikirannya.
"Kenapa?"
Belvin tersentak dari lamunannya. Mengerjap.
"Gue terlalu ganteng ya sampai lo lihatin terus?"
Di tengah jeda belajarnya yang dia jatah lima menit saja, Belvin memperhatikan Gavin yang sedang duduk dengan menekuk satu kaki di samping pintu kaca teras kamarnya seraya menggambar sesuatu di buku sketsanya. Entah menggambar apa.
Omong-omong, Belvin baru mengetahui Gavin suka menggambar. Tidak hanya suka, Gavin ternyata berbakat di bidang itu. Baru dua hari yang lalu Belvin mengetahuinya. Saat Belvin sedang asyik belajar, Gavin sibuk dengan buku sketsanya yang saat itu Belvin pikir Gavin hanya gabut saja. Lalu, saat dia tanpa sengaja melihat Gavin tengah menggambar dirinya yang sedang berkutat di meja belajar, begitu terkejutnya Belvin karena hasilnya ternyata bagus.
Sekarang pun begitu. Saat Belvin sibuk belajar. Gavin fokus menggambar. Lalu tanpa sadar Belvin memperhatikan Gavin hampir 10 menit lamanya. Lebih 5 menit dari waktu istirahatnya.
Ternyata mengamati Gavin yang sedang fokus dengan kegiatan yang disukainya menyenangkan juga. Setidaknya Gavin menjadi remaja yang memiliki hobi lebih bermanfaat dibanding hanya cari ribut dan balapan liar saja.
Di samping itu, sebenarnya ada alasan lain mengapa Belvin mengamati Gavin begitu betah tanpa dia sadari. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Untuk banyak alasan dia mengkhawatirkan Gavin lebih besar dari sebelum-sebelumnya. Belvin juga tiba-tiba takut Gavin membuat hidupnya sendiri tambah rusak.
Untuk sekali lagi Belvin ingin bilang, "lo nggak bisa merubah hidup lo sedikit lebih baik?" Mungkin Belvin terdengar naif dan berpikiran sempit karena standar menjalani hidup baik menurutnya adalah dengan menjalani hidup sepertinya. Lagi-lagi Belvin melupakan fakta dia tidak bisa memaksa semua orang--khususnya Gavin untuk menjalankan hidup seperti dirinya.
Tapi, setidaknya Belvin ingin Gavin berhenti berbuat onar. Berhenti mencari ribut. Berhenti melawan guru. Dan mulai belajar dengan baik.
Belajar dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
Teen FictionGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...