Sudah Gavin katakan dia tahu bagaimana mereka yang mengakunya sebagai teman tapi mencaci-makinya di belakang.
Selama ini dia bersikap bodoh dengan pura-pura tidak tahu. Dia akan menganggap tidak pernah mendengarnya meskipun kenyataannya beberapa kali dia tanpa sengaja mendengar pembicaraan mereka yang menjelekkannya.
Memangnya dia harus apa? Marah? Lagipula dia idak berhak marah. Ucapan mereka semua memang banyak benarnya.
Selama ini Gavin bersikap tidak tahu apa pun karena rasanya akan tampak menyedihkan jika mereka tahu selama ini dia sudah mengetahuinya tapi justru masih mau-maunya berteman. Seperti yang mereka bilang, menjadi ATM berjalan.
Menyebalkan sih disebut ATM berjalan. Di saat Gavin sering mentraktir mereka bukan karena diporot, tapi memang atas dasar keinginannya sendiri. Sebut saja Gavin terlalu murah hati pada mereka-mereka yang lebih banyak bacot dibanding duit.
Kali ini, satu topengnya sudah hancur.
Mereka sudah tahu. Bonus, Belvin ikut mengetahuinya--tambah parah.
Gavin tidak pernah mau Belvin melihat sisinya yang menyedihkan. Tapi sekarang gadis itu sudah tahu betapa menyedihkannya dia sekarang.
Alasan Gavin menghindar sebenarnya bukan marah. Demi apa pun dia tidak mungkin marah kepada orang yang berani membelanya seperti itu. Bentuk pembelaan yang mengejutkannya sampai Gavin berkali-kali harus memastikan perempuan yang dengan tegap berani menatap balik laki-laki yang dibuat murka olehnya tanpa gentar itu adalah Belvin.
Gavin tahu Belvin tidak mudah ditindas. Di saat-saat tertentu dia bahkan tampak seperti gadis jahat yang bisa melakukan apa pun untuk mencapai tujuannya. Hanya saja terlalu kaget Belvin mau marah hanya karena mendengar dia dijelek-jelekkan.
Tidak perlu bertanya-tanya alasan Belvin melakukan itu. Sepertinya gadis itu mulai menaruh kepedulian kepadanya--yang selama ini Gavin harapkan. Tapi, kenapa saat Belvin sudah mencoba peduli, sekarang Gavin merasa terbebani? Takut membuatnya kecewa. Dan sadar dia pasti akan mengecewakan.
Gavin perlu menghindar sejenak dari Belvin--entah sejenak atau mungkin selamanya. Tidak ingin Belvin melihat lebih banyak sisinya yang menyedihkan.
Pandangan Gavin menatap lurus ke depan. Kepada Farhan dan kedua temannya yang sedang merokok di atap sekolah. Spontan, tangan Gavin mengepal melihat mereka tertawa-tawa--entah apa yang mereka tertawakan.
Awalnya, Gavin tidak berniat membuat perhitungan. Namun, saat melihat wajah ketiga orang itu--terutama Farhan--bayangan Belvin yang berdiri menantang mereka sekelebat melintas di kepalanya.
Melangkahkan kaki lebar-lebar, Gavin berjalan menghampiri mereka yang belum menyadari kehadirannya. Tangannya terulur kasar menarik kerah belakang Farhan, melayangkan bogeman mentah tepat ke wajahnya sebelum laki-laki itu mengusai keterkejutannya.
Farhan terhuyung ke belakang. Mengumpat kasar seraya mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah segar. Meludah, menyeringai mengejek.
"Agak disayangkan, ya. Padahal gue masih mau temenan sama lo."
Rahang Gavin mengeras. Mengatup rapat. Sorot matanya dingin. Menghunus tajam. Siapa sangka Gavin yang terkenal jenaka, bisa mengeluarkan tatapan membunuh seperti itu.
"Kenapa? Duit bokap lo udah abis? Karena nggak bisa jadi ATM berjalan lagi buat kita-kita lo memilih memutus pertemanan gitu?"
Gavin diam tanpa ekspresi. Memperlihatkan bahwa dia terusik oleh kata-katanya itu hanya akan membuat Farhan kesenangan karena telah berhasil memprovokasi. Bagi orang yang alat tempurnya adalah mulutnya, reaksi Gavin yang murka bisa memberi makan ego laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letting Go
Teen FictionGavin dan Belvin adalah definisi dari perbedaan itu sendiri. Sepasang kekasih yang bagaikan langit dan bumi, air dan api, siang dan malam. Si tengil dan si dingin. Si social butterfly dan si ansos. Si ekspresif dan si poker face. Yang cowok disebut...