23. Penjaga Hati

2.6K 180 14
                                    

Belvin baru saja membuka pintu gerbang saat dikagetkan dengan sebuah motor yang terpakir tepat di depannya. Ralat, bukan motornya yang membuat dia kaget, melainkan orang yang tengah setengah bersandar di samping motor itu seraya melipat kedua tangan di depan dada.

Gavin. Bagaimana bisa ada di depan rumahnya sepagi ini dengan seragam sekolah yang jika diperhatikan lebih teliti lebih rapi dibanding biasanya. Rambut gondrongnya pun dipangkas rapi. Penampilan Gavin sekarang tidak seurakan biasanya. Seperti siswa normal, bukan preman yang sedang cosplay memakai baju sekolah.

"Kenapa sih? Kayak ngelihat hantu aja," celetuk Gavin terkekeh kecil.

Belvin menutup pintu gerbang seraya mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Memastikan bahwa dia tidak kesiangan. Benar. Tidak kesiangan. Justru kepagian.

Paham alasan Belvin bereaksi seperti itu, Gavin kembali melepaskan kekehan singkat. Membuka tasnya, mengambil kotak bekal di dalam sana, kemudian mengulurkannya kepada Belvin.

"Nih, sarapan dulu. Belum sarapan, kan?" Kotak bekal itu berisi dua potong roti lapis. Gavin meminta pembantu di rumahnya untuk membuatkannya.

"Nggak usah. Nanti telat."

"Astaga, Belvin. Ini bahkan baru jam enam. Masih ada satu jam sebelum masuk."

"Ya itu kan belum dipotong sama di jalan."

"Masih keburu, Bel. Gini deh, lo boleh potong titit gue kalau kita sampai telat."

Belvin mengerling sinis. "Jorok." Ujung-ujungnya kotak bekal yang diulurkan Gavin pun dia ambil juga.

Gavin tertawa. "Santai aja makannya. Yang penting aman sampai perut," katanya sembari memperhatikan Belvin yang mulai melahap roti lapisnya. Lekat sekali tatapannya.

"Kenapa?" Belvin mengangkat sebelas alis, bertanya tanpa suara.

Gavin menggeleng.

Belvin menyodorkan sepotong roti lapis yang belum dia makan kepada laki-laki yang terus menjaga kontak mata dengannya itu.

Lagi, Gavin menggeleng. Kali ini seraya mengernyitkan wajah dan menepuk-nepuk perutnya. Sudah makan.

Belvin mengerling tidak percaya.

Gavin terkekeh kecil. "Beneran. Makan aja," mengedikkan dagu di akhir kalimat.

Belvin justru semakin menyodorkan roti lapis itu ke depan mulut Gavin.

Spontan Gavin memundurkan kepala dan di saat bersamaan Belvin maju mendekat membuat sandwich itu menempel di bibir Gavin yang terkatup rapat.

Menelengkan kepala kecil, Gavin mengangkat sebelah alis.

Belvin melakukan hal yang sama. Membuat Gavin memalingkan wajah, menyeringai geli.

Pacarnya kenapa menggemaskan, ya?

Kembali menghadapkan wajah, Gavin membuka mulut dengan pura-pura terpaksa. Melahap roti lapis itu.

"Nggak enak, kan rasanya dipaksa?" celetuk Belvin.

Melongo sejenak, Gavin tergelak. Memperhatikan Belvin dengan geli yang menghabiskan roti lapisnya sekaligus padahal potongannya masih sedikit besar. Hal itu membuat pipinya mengembung.

Gavin mengulum lidah dalam mulut. Gemas. Jika bukan di tempat terbuka, Gavin mungkin sudah mengigit pipi Belvin sekarang.

Jadi sebagai gantinya dia raih tangan Belvin, hendak mengigit jarinya. Namun, terdistraksi saat merasakan suhu tangan Belvin terlampau dingin.

"Kenapa dingin banget?" Gavin memperhatikan tangan Belvin dalam genggamannya. Mengangkat kepala, kemudian tangannya terulur meraba kening sang kekasih. "Sakit?" Ada kekhawatiran yang tersirat jelas dari caranya bertanya dan menatap.

Letting Go Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang