Dokter Ana

90 11 1
                                        

Baba alias ciya, yah dia menjadi salah satu perawat di rumah sakit yang ila tempati berobat.

Saat merekap semua pasien dan akan diberikan oleh dokter ana selaku penanggung jawab, baba mendengar sesuatu. Ia tau menguping itu tak baik tapi juga bukan salahnya!! Pintu ruangan dokter terbuka sedikit jadi suara dari dalam terdengar.

"dok,,, bagaimana dengan pasien dengan nomor 112{nomor bangsal ngasal}?" tanya seorang lainnya, sepertinya dokter ana tidak sendirian.

"entahlah dok,, saya juga lelah menghadapinya tapi saya punya utang budi sama keluarganya, jika bukan karena mereka mungkin saya tidak bisa menjadi dokter sesuai dengan cita - cita" balas dokter ana lelah,

"apa penyakit hemofilia yang dideritanya masih tahap awal?" tanyanya kembali.

"entah harus bilang bersyukur atau bencana, tapi yah seperti diagnosa di awal. Ia masih tahap awal dan saya berdoa semoga ada keajaiban disana" ungkap dokter ana merasa iba,

"apa?! Hemofilia!!" ucap baba dengan suara pelan.

"dok.... Anak itu{ila} meminta kita untuk menutup mulut,, jadi kuharap kamu ataupun saya tidak ada yang ember!! Karena bagaimanapun juga, anak itu sudah memohon meminta kita untuk bungkam" jelas dokter ana,

"ya ya ya... Tapi dia tetap membutuhkan banyak dukungan dan cinta dari orang terdekat dan keluarganya" separuh kesal dan iba menjawab.

"saya tau... Maka dari itu, dia mengatakan gak ingin membebankan siapapun.. Jadi mengertilah... Bukankah dokter sudah tau se bebal apa anak itu" balas dokter ana,

"dan hal buruk apa yang akan dilakuinnya pada dirinya jika.." ucapan dokter ana terputus.

"iya... Iya... Saya sudah berjanji... Jadi jangan mengingatkan lagi, jangan menambah rasa bersalah saya karena harus menutupi hal ini" ucapnya yang memotong ucapan dokter ana,

"terima kasih dok" ungkap tulus dokter ana senyum.

Namun mereka bukanlah yang mengetahui hal itu ada seorang lainnya, yah dialah ciya alias baba.

Pandangan baba mulai serasa kehilangan pijakan, mungkin efek iba dari hormon yang keluar membuatnya seperti itu atau mungkin ada hal lain?!

Entahlah..

Semua terasa cepat dan mengagetkan,

Belum sempat kembali menata suasana dan hati. Tiba - tiba alarm berbunyi,

Dokter ana mengangkatnya.

"ada apa?" tanya dokter ana,

"saya membutuhkan anda dokter,," ucap suara sembrang dengan panik.

"kamar no?" tanya nya,

"atas nama pasien ila" balasnya. Dokter ana bahkan temannya melotot dan saling melihat.

"ada apa?" kini temannya yang bertanya,

"ila kehilangan banyak darah" jawabnya dengan panik. Terdengar dari suara gaduh dan getaran pada nada suaranya,

"tenang.. Anda harus tenang.. Kami akan segera kesana" balas sang dokter.

Sedangkan dokter ana sudah berlari keluar, beruntungnya baba tidak di depan pintu melainkan bersandar di samping pintu.

Yang harusnya kelihatan tapi karena panik dokter ana tidak menyadari kehadiran orang lain disana,

Dokter ana berlari menuju bangsal ila/ruangan ila.

Tak lama berselang sang teman ikut menyusul namun kaget dengan kehadiran baba yang masih setia disamping pintu,

Ingin bertanya ngapain disana tapi melihat kertas dan note data2 pasien!! Membuatnya paham.

"ada apa dokter?" tanya sang suster,

"ambil alat - alat di dalam ruangan setelah itu menyusul lah keruangan 112" jawabannya.

Yang sebenarnya gak masuk dengan pertanyaan tapi setelah melihat mimik sang dokter, suster mengetahui bahwa itu adalah situasi emergensy.

Sang dokter berlalu, lalu setelah itu sang suster mengambil alat yang diminta dan pun menyusul.

Sedangkan ditempat yang berbeda,

Didalam ruangan ila atau menelisik lebih jauh sedikit sebelum keruangan ini

#flashback

"la... Darahmu tak berhenti keluar" ucap esh menatap lamat bekas infus ila.

Ila hanya terdiam, kemudian dia mencoba menekannya sendiri.

Menekan bagian atas pada luka bekas infus itu, dia menekan dengan sangat kuat. Berharap itu dapat memperlambatnya, namun nihil.

Esh mulai panik,

"la... Ini gak berhenti - henti... Mari kita kembali,,," ucap esh mencoba membantu ila kembali namun...

"esh.. Aku gak kuat untuk berjalan lagi..." suara parau khas orang sakit pun keluar, ila serasa seperti tak sanggup.

Dengan panik esh, menggendongnya ala tuan putri dan berlari menuju ruangan ila. Setelah sampai sana pun esh sempat mengikat tangan ila untuk mengurangi/memperlambat darah yang mengalir atau sebutannya memberhentikan pendarahan Dengan menyumbat atau pun mengikatnya,

Hasil yang nihil membuat esh mau gak mau menekan bel emergensy.

#flashbackoff

"bagaimana ini bisa terjadi" tanya dokter ana yang panik,

"maaf dok... Ini karena kecerobohan saya... Alat infus yang terpasang pada tangannya terlepas dan membuat luka terbuka.. Maaf dok" balas esh  menyalahkan dirinya. Belum sempat menjawab, sang teman dan suster telah datang.

Esh disuruh menunggu diluar, agar mereka lebih leluasa mengobati dan steril.

Esh menunggu diluar, dengan cemas dia mondar - mandir tak karuan.

"YA TUHAN,, tolong berikanlah muksizatmu" ucap esh disela mondar - mandirnya, entah waktu yang terlewat tapi tau - tau dokter ana beserta temannya keluar ruangan.

"bagaimana dok?" tanya esh,

"biarkan dia istirahat.. Terima kasih telah membantu kami dengan pertolongan pertama anda... Itu sangat menolong banyak kami untuk menanganinya" ucap syukur dokter ana. Esh merasa lega, tapi masih belum terjawab ada apa dengan ila.

Ingin bertanya tapi sang dokter keburu pamit dan pergi, sepertinya sang dokter lelah.

Dan tak tega juga mengganggu, esh hanya melihat dokter berlalu meninggalkannya.

Esh duduk di kursi panjang dekat kamar ruangan ila,

"ada apa denganmu kak?!" monolognya.

Baba keluar dari ruangan, sedikit terkejut.

'dia..' batin baba berkecamuk, melihat wajah sedih esh membuatnya juga ikut merasa sedih.

Seperti seorang teman ia menepuk pundak esh 2x,

"tenanglah.. Dia sudah melewatinya.. Dia adalah wanita yang kuat... Jadi anda juga harus kuat" balas baba.

Esh sempat, merasa familiar dengan suara sang suster tapi membuang jauh - jauh segala opini buruknya dan tersenyum.

"terima kasih suster" balas esh jujur, baba memakai masker dan seragam suster serta name tag yang bernam ciya jadi tidak ketahuan.

Sang suster pamit undur diri meninggalkan esh yang duduk mematung menerawang ke arah depan,

Sisi lain...

Di dalam mobil

Bersambung

Cinta Itu Polos? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang