Anak-anak tampak mengemut dot berisi buah mereka dengan lahap dan tenang, sementara aku dan Ajun duduk di sekitar mereka memperhatikan. Pria di sampingku itu tampak tengah memakan apel, dengan tangan diperbannya yang memegang.
"Gimana tangan kamu?" tanyaku, basa-basi.
"Karena diurus dengan baik, oleh orang yang baik, jadi terasa lebih baik," jawabnya bertele, aku hanya memutar bola mata malas. "Apa kamu lapar?" tanyanya tiba-tiba.
"Kamu lapar?" Aku bertanya balik.
"Sedikit, tapi mungkin menu yang gak terlalu berat," jawabnya, kembali mengunyah apel di tangan lagi. "Apa kamu mau pesen sesuatu?"
Aku menggeleng. "Aku rasa aku mau bikin pancake." Entah kenapa aku berpikiran demikian.
"Pancake? Boleh juga," jawab Ajun mengangguk.
"Kamu tolong jaga anak-anak, aku akan buat pancake, mau rasa apa?"
"Apa aja gak masalah."
"Baiklah." Mendapat anggukan, aku pun menuju dapur, meninggalkan anak-anak dengan sang ayah. Mulai, melakukan aksiku memasak. Meski sesekali, sambil membuat adonan dan memasak, aku memperhatikan keadaan di depan sana.
Aman, anak-anak anteng bersama ayah mereka.
Pancake matang dengan baik, aku menumpuknya jadi lima-lima di dua piring, diberi topping keju dan madu serta potongan buah. Aku sudah merasa jadi chef andal dengan kue buatanku.
Oh, benar, kue favorit Ajun!
Ada kue itu di lemari, kue cincin, salah satu andalan selain cucur favoritnya. Sayangnya, tak ada cucur di sini, tapi sepertinya tak masalah. Bersama nampan berisi makanan, serta merta kue tambahan, dan jus segar, aku menyajikannya di hadapan Ajun.
"Ah, banyak sekali, apa kamu gak kerepotan?" tanyanya. "Oh, cincin!"
"Enggak, kok. Silakan dinikmati."
"Terima kasih." Dan bersama anak-anak, kami menikmati makanan yang ada, sesekali aku menyuapi anakku karena madu yang ada. "Sebenarnya, kamu pakai apa?" tanya Ajun tiba-tiba.
Aku menatapnya. "Resep turun temurun."
"Enggak, maksudku, kamu pakai apa? Kenapa bisa seenak ini? Apa tangan kamu tangan ... istimewa?" tanyanya, aku menggeleng karena tahu maksudnya tengah mengambungku dengan pujian. "Kue kamu memang luar biasa, Rosa. Aku suka sekali, terutama cucur dan cincin ini, rasanya seperti ... ah, sulit digambarkan. Intinya, aku selalu bahagia karena masakan kamu."
"Syukur deh kalau kamu suka, aku rasa jadi pengobat stres ya?" Ia tertawa bersamaku.
"Salah satunya, tapi kamulah ... obat stres itu seutuhnya."
Aku menghela napas, dia bergombal lagi, apa seorang Arjuna Thomas memang ahli dengan hal begitu? Jika saja aku wanita biasa, mungkin sudah klepek-klepek, dan jika Ajun memutuskan jadi womanizer, dia bisa mudah mendapatkan gelarnya. Namun, dia sangat berhati-hati.
"Kamu jadiin aku samsak mulut pedas kamu," kataku.
Tanpa aku sangka, dia menoel pipiku. "Maaf."
Aku menatapnya tak percaya dan dia malah tertawa, ternyata Ajun orangnya tengil. "Dih!" Aku sentil tangannya kesal.
Dia malah makin tergelak, dan sialnya karena tawa renyahnya, aku memilih membuang wajah ke arah lain karena aku jadi ikut-ikutan tertawa. Tawa itu memang kadang menular, bahkan anak-anak sepertinya ikut tertawa bersama.
Kampret si Ajun membuat keluargaku kena virus tertawa.
Terlepas hal tersebut, jujur saja, ada rasa senang di dada.
Berikutnya, tawa reda sendiri, kami pun kembali menikmati makan siang bersama anak-anak dan melanjutkan aktivitas yang berikutnya, tidur siang Yoga, Yasa, dan Yuda. Ajun tampak kesulitan, karena ketiganya tak benar-benar bisa tidur, walau syukur saja lancar berikutnya.
Kami pun menuju keluar kala ketiganya telah terlelap, menuju ruang keluarga, dan duduk di sofa yang tersedia. Ajun tampak menghela napas lega sementara aku sedikit mengerjap. Biasanya, aku akan tidur siang bersama anak-anak, karena malam hari anak-anak kadang membuatku terjaga jadi lebih letih, tetapi karena ada Ajun--tak enak meninggalkannya sendirian.
Aku tatap Ajun, dia kelihatan sama letihnya, dan tanpa sadar aku menguap. Untungnya, aku sigap menyembunyikan itu, kemudian menatap ke Ajun. Ternyata, selain tawa, menguap juga kadang menular, Ajun kini ikut menguap.
"Apa kamu ngantuk?" tanyaku, Ajun menoleh dan menggeleng.
"Enggak terlalu, kok." Namun, matanya terlihat berat. "Uh, aku ralat, keknya menjaga anak-anak itu ekstra kebanding bekerja di kantor."
Aku tertawa pelan. "Yah, begitulah."
"Kalau demikian, berarti kaum ibu memang dari kalangan yang hebat." Pandai sekali dia memuji. "Sepertinya, aku akan pulang."
"Kamu yakin pulang dengan kondisi mengantuk gitu? Lagian, kamu kan mau full time sama anak-anak," kataku, entah kenapa ada sisi di mana aku ingin dia menetap. Dia tampak terdiam dilema. "Tidurlah di sini, ada kamar kosong kok."
"Apa boleh?"
"Ya kalau aku nawarin, berarti jelas boleh kan?"
"Baiklah, terima kasih." Aku tersenyum balik, kami pun mulai berjalan ke kamar yang dimaksud, kamar kosong yang biasa dipakai tamu menginap. Paling sering, dipakai Vivian, itu kenapa temanya agak feminin.
Uh, terakhir kali dipakai kapan, kelihatan agak berantakan. Aku segera membereshkan dengan cepat agar bisa segera ditiduri Ajun. Untungnya, tak separah itu, hingga kini ia bisa duduk di tepian kasur.
"Tidurlah, isi tenaga, soalnya ... abis ini jelas banyak hal yang harus dilakuin," kataku.
Dia tersenyum. "Bangunkan aku kalau anak-anak bangun, ya. Aku gak mau ketinggalan momen."
"Iya, iya, tidur aja sana!" Aku pun keluar kamar itu meninggalkan Ajun, dan menuju ke bibi sejenak untuk berpesan menjaga di luar, barulah aku bisa istirahat setelahnya. Syukur saja.
Aku tidur selama beberapa jam sebelum akhirnya bangun dengan keadaan lumayan segar dan disambut anak-anak yang tampak merengek seperti biasa. Aku mulai menyusui mereka dengan ASI langsung, ketika pintu kamar tiba-tiba terbuka.
"Ada apa dengan anak-anak--oh astaga!" Ajun membuang wajah dengan pipi memerah melihat keadaanku yang menyusui Yoga kecil kami. "Ma-maaf, aku tak sengaja."
"Ajun, gak keliatan, kok," kataku, tertawa pelan, dia mungkin hanya melihat sekilas hingga tak menyadari sebenarnya aku masih tertutup.
Dengan agak takut, ia menoleh ke arahku. "Oh, um ...." Dia terlihat kikuk.
"Kamu bantu aku sama Yasa dan Yuda sebentar." Yasa dan Yuda terlihat lebih tenang kebanding Yuda jadi mereka bisa aku susui nanti.
"Mm ba-baiklah." Dia sepertinya masih malu karena kejadian tadi. Namun, syukur saja, semua berjalan lancar setelahnya.
Dan jam segini, harusnya aku mandi, dan Ajun sendiri harusnya pun demikian. Aku ini memang clean junkie soal hal yang berhubungan dengan anak-anak.
"Ajun, apa kamu bawa baju ganti?" tanyaku, dia menoleh pun menggeleng. "Hm, kita harus mandi sebelum aktivitas bareng anak-anak."
"Oh, di sini?" Dia menunjuk ke bawah.
"Ribet kalau pulang pergi, kan? Kebetulan aku punya baju unisex yang kebesaran, mungkin pas sama kamu. Kamu gak keberatan?"
Ajun menggeleng. "Aku rasa itu justru solusi bagus, baiklah."
Dia masih punya banyak pelajaran soal menjadi ayah yang baik, kan dia yang minta sendiri. Entahlah, aku senang menahannya ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Husbandfree [tamat]
Romance[21+] Nekat dan TOLOL Adalah hal yang bisa disematkan pada Romansa Nugraha, wanita 27 tahun, seorang asisten pribadi yang di luar kalem, nyatanya di dalam rada gila. Bagaimana tidak? Dirinya bukan penganut childfree, melainkan husbandfree--menurutny...